I.
PENDAHULUAN
Sosiolinguistik merupakan gabungan antara disiplin sosiologi
dan disiplin linguistik. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius
yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal
sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Pertama kali istilah sosiologi dikemukakan
oleh ahli matematika Francis, Auguste Comte (1978-1857), yang menyadari
perlunya dikembangkan suatu ilmu tersendiri yang ‘mempelajari dan menjelaskan
berbagai aspek kemasyarakatan’ secara ilmiah, yang ia sebut ‘sosiologi’.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam
masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam
masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi,
berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang
mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya.
Sosiolinguistik adalah kajian
interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa
berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa
sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang
lain. Halliday (1970), menyebut sosiolinguistik sebagai linguistik
institusional (institutional linguistics), berkaitan dengan pertautan
bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu. Pride dan Holmes (1972) merumuskan
sosiolinguistik secara sederhana: …the study of language as part of culture
and society”, yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan
masyarakat. Menurut Nababan (1984) “sosiolinguistik adalah kajian atau
pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota
masyarakat. “Sosiolinguistik
lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dari pelbagai variasi
bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi
bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa” (Kridalaksana, 1978:94). Kemudian
oleh Chaer (2004) lebih diperjelas bahwa sosiolingistik adalah “…cabang ilmu
linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek
penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu
masyarakat tutur.” (Chaer, 2004:4). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik,
bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh
linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau
komunikasi di dalam masyarakat manusia.
II.
BAHASA
Bahasa adalah sarana ekspresi diri
bagi manusia. Bahasa sebagai objek komunikasi perannya sangat besar dalam
kehidupan, dari bahasa pula kita dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
Bahasa adalah, kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan
menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh
dari sebuah sistem komunikasi yang kompleks.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian ‘bahasa’ ke
dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang
dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer, pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat
komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang
dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan
(perkataan) yang baik; sopan santun, tingkah laku yang baik.
III.
MASYARAKAT
Masyarakat (sebagai terjemahan
istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi
terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar
dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat
adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup
bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama,
dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat,
dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang
dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu,
sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil
pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi
politik,
ekonomi, sosial.
IV. BAHASA
DAN MASYARAKAT
4.1 Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916)
membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga
istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara
tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal
ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang
sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan
untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini
bersifat abstrak.
Istilah kedua langue dimaksudkan
sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Sama dengan
langage yang bersifat abstrak, langue
juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah
suatu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia
tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Berbeda dengan langage dan langue
yang bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga parole bersifat
konkret, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam
bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam
berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole tidak bersifat
abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris.
Yang menjadi objek studi
linguistik adalah langue, sebagai satu sistem bahasa tertentu, tetapi
dilakukan melalui parole. Karena parole inilah yang dapat
diobservasi secara empiris. Langue itu tidak dapat diamati secara
empiris karena sifatnya yang abstrak.
Sebagai langange bahasa itu
bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan
manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu.
Tetapi sebagai bahasa langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri
keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu
masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling
mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya
satu bahasa. Misal, penduduk di daerah Sumedang dengan yang ada di Sukabumi dan
di lereng Gunung Salak, Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan
dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya.
Mereka dapat berkomunikasi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di
Surabaya dengan yang berada di Solo dan yang berada di Malang, masih berada
dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti
di antara mereka sesamanya.
Adanya saling mengerti antara
penduduk di Sumedang dengan penduduk di Sukabumi adalah karena adanya kesamaan
sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik)
di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan
penduduk yang ada di Surabaya, Solo, dan Malang, mereka bisa saling mengerti
tentunya karena ada kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole
yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Sumedang dengan penduduk di
Surabaya tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya.
Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara
penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem.
Ketiadaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang
menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti menandai adanya dua sistem langue
yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di
Sumedang dan di Surabaya itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu
bahasa Sunda di Sumedang dan bahasa Jawa di Surabaya.
Parole yang digunakan penduduk di
Sumedang, di Sukabumi, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling
mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole
di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih terdapat
“kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di
ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama.
Secara konkret lazim dikatakan sebagai: bahasa Sunda dialek Sumedang, bahasa
Sunda dialek Sukabumi, bahasa Sunda dialek Bogor.
Setiap orang secara konkret
memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa. Kekhasan ini dapat mengenai
volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur
bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek.
Secara linguistik dapat
disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari
sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu
juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa,
karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara
politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia.
4.2 Verbal Repertoire
Chomsky, menyebutkan adanya kompetens
(Inggris: competence) di samping performans (Inggris: performance).
Yang dimaksud dengan kompetens adalah kemampuan, yakni pengetahuan yang
dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Sedangkan performans adalah
perbuatan berbahasa atau pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang
sebenarnya di dalam masyarakat. Halliday, tidak secara eksplisit membedakan
bahasa sebagai sistem dan bahasa (tuturan) sebagai keterampilan. Dia hanya
menyebut adanya kemampuan komunikatif (Inggris: communicative competence),
yang kira-kira merupakan perpaduan atau gabungan antara kedua pengertian itu.
Yang dimaksud dengan kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau
kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta
norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya (Halliday,
1972:269-293). Untuk dapat disebut mempunyai kemampuan komunikatif
seseorang itu haruslah mempunyai kemampuan untuk bisa membedakan kalimat yang gramatikal
dan yang tidak gramatikal, serta mempunyai kemampuan untuk memilih
bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, mampu memilih ungkapan yang
sesuai dengan tingkah laku dan situasi, serta tidak hanya dapat
menginterpretasikan makna referensial (makna acuan) tetapi juga dapat
menafsirkan makna konteks dan makna situasional.
Kemampuan komunikatif seseorang
bervariasi, setidaknya menguasai satu bahasa ibu dengan pelbagai variasinya
atau ragamnya; dan yang lain mungkin menguasai, selain bahasa ibu, juga sebuah
bahasa lain atau lebih, yang diperoleh sebagai hasil pendidikan atau
pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya. Semua bahasa berserta
ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa disebut
dengan istilah repertoire bahasa atau verbal repertoire dari
orang itu.
Verbal repertoire ada dua macam.
Yang pertama mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur,
termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan
situasi dan fungsinya. Yang kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal
yang ada di dalam suatu masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih
variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan
bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam
masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional dan sosiolinguistik
mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional
atau sosiolinguistik makro (Appel 1976:22). Kedua jenis
sosiolinguistik ini, mikro dan makro mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak
dapat dipisahkan, karena keduanya saling bergantung. Maksudnya, verbal
repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana dia berada;
sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal
repertoir semua penutur di dalam masyarakat itu.
4.3 Masyarakat Tutur
Jika suatu kelompok orang atau
suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka
mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang
digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok
masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (Inggris: Speech
Community). Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang
menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma
yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Untuk dapat disebut satu
masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka
merasa menggunakan tutur yang sama (Lihat Djokokentjono 1982).
Menurut
Fishman (1976:28) “masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang
anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta
norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”. Kata masyarakat dalam
istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat
yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
Setiap
kelompok orang yang karena tempat atau daerahnya, profesinya, hobinya, dan
sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang sama, serta mempunyai penilaian yang
sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin membentuk suatu
masyarakat tutur. Begitu juga masyarakat tutur dalam ranah-ranah sosial seperti
rumah tangga, pemerintahan, keagamaan, dan sebagainya. Sebaliknya, masyarakat
tutur itu mungkin meliputi pemakaian bahasa dalam satu negara atau beberapa negara,
apabila masyarakat di dalam negara atau negara-negara itu mempunyai perasaan
bahwa mereka menggunakan bahasa yang sama. Contohnya, bahasa Indonesia adalah
satu negara, masyarakat tutur bahasa Inggris meliputi berbagai negara. Malah
dalam kasus di negara Belgia, kita lihat bahwa bangsa Belgia mempunyai negara,
tetapi tidak mempunyai bahasa. Sebagian orang Belgia masuk anggota masyarakat
tutur bahasa Prancis, dan sebagian lagi masuk anggota masyarakat tutur bahasa
Belanda (dialek Vlam).
Masyarakat
tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman
atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin
juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi
simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa,
atau daerah. Dalam hal ini yang disebut bahasa nasional dan bahasa
daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan
variasi kebahasaan.
Dilihat
dari sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua masyarakat
tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan
menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula; (2) masyarakat
tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi
hidup yang sama , dan menunjukkan pemikiran wilayah linguistik yang sempit,
termasuk juga perbedaan variasinya. Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat
baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat
besar dan modern. Hanya, seperti dikatakan Fishman (1973:33) dan juga Gumperz
(1964:37-53), masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat
tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam
bahasa yang sama; sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan
cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab
kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kultural.
4.4 Bahasa dan Tingkatan Sosial
Masyarakat
Adanya tingkatan sosial di dalam
masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi
kebangsawanan, dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai
dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Sebagai contoh, mengenai tingkat
kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyaraka Jawa atas empat
tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara;
sedangkan Clifford Geertz (dalam Pride dan Holmes (ed.) 1976) membagi
masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat, yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi
tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan (3) petani dan orang kota
yang tidak berpendidikan. Dari dua penggolongan itu jelas adanya perbedaan
tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkat-tingkat itu,
maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan
sesuai dengan tingkat sosialnya. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang
yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga
disebut sosiolek (Nababan 1984). Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi
apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial yang
berbeda.
Dalam masyarakat kota besar yang
heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat
kebangsawanan mungkin sudah tidak ada; atau walaupun ada sudah tidak dominan
lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial
ekonomi. Pembagiannya adalah, adanya istilah golongan atas, golongan menengah,
dan golongan bawah. Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara kelas
sosial ekonomi dan penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi di Eropa dan Amerika
telah banyak dilakukan orang.
Penelitian pertama adalah
barangkali yang dilakukan oleh C.R.J Ross tahun 1956. Dalam penelitian itu Ross
menemukan adanya perbedaan ucapan, perbedaan tata bahasa, dan pilihan kata dari
ragam bahasa Inggris lapisan atas (Upper Class) dan yang bukan lapisan
atas (Non-Upper Class).
Dari uraian mengenai bahasa Jawa
dan penelitian C.R.J Ross dapa dilihat bahwa memang ada korelasi antara tingkat
sosial di dalam masyarakat dengan ragam bahasa yang digunakan.
V. KESIMPULAN
Linguistik sebagai ilmu bahasa
memiliki beragam ilmu turunan didalamnya, tak terkecuali Sosiolinguistik.
Sosiolinguistik langsung merupakan cabang ilmu linguistik yang langsung
berhubungan dengan masyarakat merupakan ilmu yang mempelajari pula perihal Bahasa
dan Masyarakat yang didalamnya akan dilibatkan secara langsung perihal
bagaimana cara kita bertutur bahasa dalam tingkatan sosial kemasyarakatan.
Manusia sebagai makhluk sosial mau tak mau, suka tak suka secara sadar akan
masuk kedalam kelas sosial, sebuah ruang yang menjembatani antara orang yang
satu kepada yang lainnya, yang secara langsung akan membagi kita kepada
beberapa golongan kelas.
Bahasa
sebagai sarana ekspresi diri bagi manusia mempunyai sistem dan subsistem
(fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) yang menyebabkan kita
dapat mengerti dan memahami parole (ujaran atau tuturan yang dilakukan
oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi
sesamanya) yang diujarkan oleh masyarakat lainnya. Terutama yang memiliki
kesamaan dalam satu bahasa. Meskipun demikian, hal tersebut masih dibatasi oleh
dialek-dialek yang membatasi suatu wilayah daerah tertentu.
Seseorang
mempunyai kemampuan komunikatif yang berbeda, setidaknya itulah yang dikatakan
oleh Halliday “Yang dimaksud dengan kemampuan komunikatif adalah kemampuan
bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan
situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks
sosialnya” (1972:269-293). Kemampuan komunikatif yang berbeda menciptakan
bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur yang
biasa disebut repertoire bahasa atau verbal repertoire dari orang
itu. Verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana dia
berada; sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan
verbal repertoir semua penutur di dalam masyarakat itu.
Jika suatu kelompok orang atau
suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka
mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang
digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok
masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Didasari oleh kesamaan terhadap
penilaian dan norma-norma, masyarakat tutur bisa ada tidak lepas dari faktor
tempat atau daerahnya, profesinya, hobinya, dan sebagainya, yang mempengaruhi
penggunaan bentuk bahasa yang sama.
Masyarakat tutur juga bisa
meliputi pemakaian bahasa dalam satu negara atau beberapa Negara. Contohnya,
bahasa Indonesia adalah satu negara, masyarakat tutur bahasa Inggris meliputi
berbagai negara. Malah dalam kasus di negara Belgia, kita lihat bahwa bangsa
Belgia mempunyai negara, tetapi tidak mempunyai bahasa. Sebagian orang Belgia
masuk anggota masyarakat tutur bahasa Prancis, dan sebagian lagi masuk anggota
masyarakat tutur bahasa Belanda (dialek Vlam).
Kembali ke masalah kelas sosial
dalam pembahasan awal, adanya tingkatan sosial di dalam
masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi
kebangsawanan, dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai
dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Faktor-faktor tersebutlah yang
mempengaruhi terhadap variasi bahasa terhadap satu dengan lainnya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Nababan “variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang
berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga disebut
sosiolek” (Nababan 1984).
Di Indonesia penelitian mengenai
hubungan antara kelas sosial ekonomi dan penggunaan bahasa kiranya belum ada,
tetapi di Eropa dan Amerika telah banyak dilakukan orang. Salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh C.R.J Ross tahun 1956. Dalam penelitian itu Ross menemukan
adanya perbedaan ucapan, perbedaan tata bahasa, dan pilihan kata dari ragam
bahasa Inggris lapisan atas (Upper Class) dan yang bukan lapisan atas (Non-Upper
Class).
DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Winda. Asal Usul Bahasa.
Melalui http://kampusmaya.org/2012/02/23/asal-usul-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.
Bahasa. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa.
diakses Rabu, 28 November 2012
Chaer,
Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
------- 2004.
Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Faqihuddin,
Didin. Bahasa: Pertumbuhan Dan Asal-Usulnya. Melalui
dienfaqieh.wordpress.com/.../bahasa-pertumbuhan-dan-asal-usulnya/. Diakses Rabu, 20 Februari 2013.
Hidayat, Asep
Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Bandung:
Rosda.
Http://www. bisosial.com/2012/05/pengertian-masyarakat-menurut-para-ahli.html
Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
M,
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pitana, I Gde, dkk. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta:
Andi Offset.
Rawit,
Intan. Teori Asal Mula Bahasa.
Melalui http://intan.blog.ugm.ac.id/2012/10/19/teori-asal-mula-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.
Sanjaya,
Rizki. Awal Mula Tumbuhnya Bahasa. Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/02/awal-mula-tumbuhnya-bahasa.html. diakses Minggu, 8 September 2013.
-------- . Bahasa Dan Masyarakat.
Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/09/bahasa-dan-masyarakat.html.
diakses Rabu, 11 September 2013.
-------- . Metode Pengelompokan Bahasa.
Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/04/metode-pengelompokan-bahasa.html. diakses Minggu, 8 September 2013.
Sosiolinguistik. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiolinguistik. diakses Rabu, 04 September 2013.
Sumarsono. 2009. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Sabda.
Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik:
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.
Jatinangor, Rabu 11 September 2013
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad
No comments:
Post a Comment