11 September 2013

Bahasa dan Masyarakat dalam Sosiolinguistik




I.         PENDAHULUAN
Sosiolinguistik merupakan gabungan antara disiplin sosiologi dan disiplin linguistik. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Pertama kali istilah sosiologi dikemukakan oleh ahli matematika Francis, Auguste Comte (1978-1857), yang menyadari perlunya dikembangkan suatu ilmu tersendiri yang ‘mempelajari dan menjelaskan berbagai aspek kemasyarakatan’ secara ilmiah, yang ia sebut ‘sosiologi’. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya.
Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Halliday (1970), menyebut sosiolinguistik sebagai linguistik institusional (institutional linguistics), berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu. Pride dan Holmes (1972) merumuskan sosiolinguistik secara sederhana: …the study of language as part of culture and society”, yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat. Menurut Nababan (1984) “sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. “Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dari pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa” (Kridalaksana, 1978:94). Kemudian oleh Chaer (2004) lebih diperjelas bahwa sosiolingistik adalah “…cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.” (Chaer, 2004:4). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia.
II.      BAHASA
Bahasa adalah sarana ekspresi diri bagi manusia. Bahasa sebagai objek komunikasi perannya sangat besar dalam kehidupan, dari bahasa pula kita dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahasa adalah, kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh dari sebuah sistem komunikasi yang kompleks.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian ‘bahasa’ ke dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer, pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun, tingkah laku yang baik.
III.   MASYARAKAT
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. 
            Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.
IV.   BAHASA DAN MASYARAKAT
4.1  Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak.
Istilah kedua langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Sama dengan langage  yang bersifat abstrak, langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah suatu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris.
Yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sebagai satu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Karena parole inilah yang dapat diobservasi secara empiris. Langue itu tidak dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang abstrak.
Sebagai langange bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai bahasa langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Misal, penduduk di daerah Sumedang dengan yang ada di Sukabumi dan di lereng Gunung Salak, Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Surabaya dengan yang berada di Solo dan yang berada di Malang, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.
Adanya saling mengerti antara penduduk di Sumedang dengan penduduk di Sukabumi adalah karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Surabaya, Solo, dan Malang, mereka bisa saling mengerti tentunya karena ada kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Sumedang dengan penduduk di Surabaya tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Sumedang dan di Surabaya itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Sunda di Sumedang dan bahasa Jawa di Surabaya.
Parole yang digunakan penduduk di Sumedang, di Sukabumi, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Secara konkret lazim dikatakan sebagai: bahasa Sunda dialek Sumedang, bahasa Sunda dialek Sukabumi, bahasa Sunda dialek Bogor.
Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa. Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek.
Secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia.
4.2  Verbal Repertoire
Chomsky, menyebutkan adanya kompetens (Inggris: competence) di samping performans (Inggris: performance). Yang dimaksud dengan kompetens adalah kemampuan, yakni pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Sedangkan performans adalah perbuatan berbahasa atau pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya di dalam masyarakat. Halliday, tidak secara eksplisit membedakan bahasa sebagai sistem dan bahasa (tuturan) sebagai keterampilan. Dia hanya menyebut adanya kemampuan komunikatif (Inggris: communicative competence), yang kira-kira merupakan perpaduan atau gabungan antara kedua pengertian itu. Yang dimaksud dengan kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya (Halliday, 1972:269-293). Untuk dapat disebut mempunyai kemampuan komunikatif seseorang itu haruslah mempunyai kemampuan untuk bisa membedakan kalimat yang gramatikal dan yang tidak gramatikal, serta mempunyai kemampuan untuk memilih bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, mampu memilih ungkapan yang sesuai dengan tingkah laku dan situasi, serta tidak hanya dapat menginterpretasikan makna referensial (makna acuan) tetapi juga dapat menafsirkan makna konteks dan makna situasional.
Kemampuan komunikatif seseorang bervariasi, setidaknya menguasai satu bahasa ibu dengan pelbagai variasinya atau ragamnya; dan yang lain mungkin menguasai, selain bahasa ibu, juga sebuah bahasa lain atau lebih, yang diperoleh sebagai hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya. Semua bahasa berserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa disebut dengan istilah repertoire bahasa atau verbal repertoire dari orang itu.
Verbal repertoire ada dua macam. Yang pertama mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Yang kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam suatu masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional dan sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel 1976:22). Kedua jenis sosiolinguistik ini, mikro dan makro mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling bergantung. Maksudnya, verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana dia berada; sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur di dalam masyarakat itu.
4.3  Masyarakat Tutur
Jika suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (Inggris: Speech Community). Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama (Lihat Djokokentjono 1982).
            Menurut Fishman (1976:28) “masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
            Setiap kelompok orang yang karena tempat atau daerahnya, profesinya, hobinya, dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang sama, serta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin membentuk suatu masyarakat tutur. Begitu juga masyarakat tutur dalam ranah-ranah sosial seperti rumah tangga, pemerintahan, keagamaan, dan sebagainya. Sebaliknya, masyarakat tutur itu mungkin meliputi pemakaian bahasa dalam satu negara atau beberapa negara, apabila masyarakat di dalam negara atau negara-negara itu mempunyai perasaan bahwa mereka menggunakan bahasa yang sama. Contohnya, bahasa Indonesia adalah satu negara, masyarakat tutur bahasa Inggris meliputi berbagai negara. Malah dalam kasus di negara Belgia, kita lihat bahwa bangsa Belgia mempunyai negara, tetapi tidak mempunyai bahasa. Sebagian orang Belgia masuk anggota masyarakat tutur bahasa Prancis, dan sebagian lagi masuk anggota masyarakat tutur bahasa Belanda (dialek Vlam).
            Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Dalam hal ini yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan.
            Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula; (2) masyarakat tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama , dan menunjukkan pemikiran wilayah linguistik yang sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Hanya, seperti dikatakan Fishman (1973:33) dan juga Gumperz (1964:37-53), masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama; sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kultural.
4.4  Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan, dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Sebagai contoh, mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyaraka Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara; sedangkan Clifford Geertz (dalam Pride dan Holmes (ed.) 1976) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat, yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan (3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan. Dari dua penggolongan itu jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkat-tingkat itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga disebut sosiolek (Nababan 1984). Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial yang berbeda.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada; atau walaupun ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial ekonomi. Pembagiannya adalah, adanya istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara kelas sosial ekonomi dan penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi di Eropa dan Amerika telah banyak dilakukan orang.
Penelitian pertama adalah barangkali yang dilakukan oleh C.R.J Ross tahun 1956. Dalam penelitian itu Ross menemukan adanya perbedaan ucapan, perbedaan tata bahasa, dan pilihan kata dari ragam bahasa Inggris lapisan atas (Upper Class) dan yang bukan lapisan atas (Non-Upper Class).
Dari uraian mengenai bahasa Jawa dan penelitian C.R.J Ross dapa dilihat bahwa memang ada korelasi antara tingkat sosial di dalam masyarakat dengan ragam bahasa yang digunakan.

V.      KESIMPULAN
Linguistik sebagai ilmu bahasa memiliki beragam ilmu turunan didalamnya, tak terkecuali Sosiolinguistik. Sosiolinguistik langsung merupakan cabang ilmu linguistik yang langsung berhubungan dengan masyarakat merupakan ilmu yang mempelajari pula perihal Bahasa dan Masyarakat yang didalamnya akan dilibatkan secara langsung perihal bagaimana cara kita bertutur bahasa dalam tingkatan sosial kemasyarakatan. Manusia sebagai makhluk sosial mau tak mau, suka tak suka secara sadar akan masuk kedalam kelas sosial, sebuah ruang yang menjembatani antara orang yang satu kepada yang lainnya, yang secara langsung akan membagi kita kepada beberapa golongan kelas.
            Bahasa sebagai sarana ekspresi diri bagi manusia mempunyai sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) yang menyebabkan kita dapat mengerti dan memahami parole (ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya) yang diujarkan oleh masyarakat lainnya. Terutama yang memiliki kesamaan dalam satu bahasa. Meskipun demikian, hal tersebut masih dibatasi oleh dialek-dialek yang membatasi suatu wilayah daerah tertentu.
            Seseorang mempunyai kemampuan komunikatif yang berbeda, setidaknya itulah yang dikatakan oleh Halliday “Yang dimaksud dengan kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya” (1972:269-293). Kemampuan komunikatif yang berbeda menciptakan bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur yang biasa disebut repertoire bahasa atau verbal repertoire dari orang itu. Verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana dia berada; sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur di dalam masyarakat itu.
Jika suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Didasari oleh kesamaan terhadap penilaian dan norma-norma, masyarakat tutur bisa ada tidak lepas dari faktor tempat atau daerahnya, profesinya, hobinya, dan sebagainya, yang mempengaruhi penggunaan bentuk bahasa yang sama.
Masyarakat tutur juga bisa meliputi pemakaian bahasa dalam satu negara atau beberapa Negara. Contohnya, bahasa Indonesia adalah satu negara, masyarakat tutur bahasa Inggris meliputi berbagai negara. Malah dalam kasus di negara Belgia, kita lihat bahwa bangsa Belgia mempunyai negara, tetapi tidak mempunyai bahasa. Sebagian orang Belgia masuk anggota masyarakat tutur bahasa Prancis, dan sebagian lagi masuk anggota masyarakat tutur bahasa Belanda (dialek Vlam).
Kembali ke masalah kelas sosial dalam pembahasan awal, adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan, dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Faktor-faktor tersebutlah yang mempengaruhi terhadap variasi bahasa terhadap satu dengan lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Nababan “variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga disebut sosiolek” (Nababan 1984).
Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara kelas sosial ekonomi dan penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi di Eropa dan Amerika telah banyak dilakukan orang. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh C.R.J Ross tahun 1956. Dalam penelitian itu Ross menemukan adanya perbedaan ucapan, perbedaan tata bahasa, dan pilihan kata dari ragam bahasa Inggris lapisan atas (Upper Class) dan yang bukan lapisan atas (Non-Upper Class).



DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Winda. Asal Usul Bahasa. Melalui http://kampusmaya.org/2012/02/23/asal-usul-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.
Bahasa. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa. diakses Rabu, 28 November 2012
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
-------      2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Faqihuddin, Didin. Bahasa: Pertumbuhan Dan Asal-Usulnya. Melalui dienfaqieh.wordpress.com/.../bahasa-pertumbuhan-dan-asal-usulnya/. Diakses Rabu, 20 Februari 2013.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Bandung: Rosda.
Http://www. bisosial.com/2012/05/pengertian-masyarakat-menurut-para-ahli.html
Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
M, Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Masyarakat. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat. diakses Rabu, 04 September 2013.
Metode. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Metode. diakses Kamis, 18 Oktober 2012.
Pitana, I Gde, dkk. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.
Rawit, Intan. Teori Asal Mula Bahasa. Melalui http://intan.blog.ugm.ac.id/2012/10/19/teori-asal-mula-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.
Sanjaya, Rizki. Awal Mula Tumbuhnya Bahasa. Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/02/awal-mula-tumbuhnya-bahasa.html. diakses Minggu, 8 September 2013.
-------- . Bahasa Dan Masyarakat. Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/09/bahasa-dan-masyarakat.html.
diakses Rabu, 11 September 2013.
-------- . Metode Pengelompokan Bahasa. Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/04/metode-pengelompokan-bahasa.html. diakses Minggu, 8 September 2013.
Sosiolinguistik. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiolinguistik. diakses Rabu, 04 September 2013.
Sosiologi. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi. diakses Rabu, 04 September 2013.
Sumarsono. 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.

Jatinangor, Rabu 11 September 2013
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad

No comments:

Post a Comment