SULING DI SUNDA
1. PENDAHULUAN
1.1
Budaya Sunda
Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal
dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter
masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (soméah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua. Itulah cermin budaya
masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda diajarkan bagaimana
menggunakan bahasa halus untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.
1.2 Etos budaya
Kebudayaan Sunda
termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan Sunda yang
ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran
dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda
itu adalah cageur, bageur, bener, singer
dan pinter, yang dapat diartikan "sembuh" (waras), baik, sehat (kuat), dan
cerdas. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi
sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di
lestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan
keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda
beragama Islam, namun ada beberapa
yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh
kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta.
1.3 Nilai-nilai budaya
Kebudayaan Sunda
memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain.
Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat
yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak
sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling
mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau
memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi
(saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah
nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada
yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda
keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat
sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk
mempertahankannya.
1.4
Kesenian
Budaya Sunda memiliki
banyak kesenian, diantaranya adalah kesenian sisingaan, tarian khas Sunda, wayang golek, permainan anak-anak,
dan alat musik serta kesenian musik tradisional Sunda yang bisanya dimainkan
pada pagelaran kesenian.
Sisingaan adalah kesenian khas sunda yang menampilkan 2–4 boneka singa yang diusung
oleh para pemainnya sambil menari. Sisingaan
sering digunakan dalam acara tertentu, seperti pada acara khitanan.
Wayang golek adalah boneka kayu yang
dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita perwayangan. Wayang
dimainkan oleh seorang dalang yang menguasai berbagai karakter maupun suara
tokoh yang di mainkan.
Jaipongan adalah pengembangan dan
akar dari tarian klasik.
Tarian Ketuk Tilu, sesuai dengan namanya Tari Ketuk Tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisional yang
disebut ketuk sejumlah 3 buah.
Alat musik khas sunda
yaitu: angklung, rampak kendang, suling, kecapi, goong, calung. Angklung adalah instrumen musik
yang terbuat dari bambu, yang unik, dan enak didengar. Angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia.
Rampak kendang adalah
beberapa kendang (instrumen musik tradisional sunda) yang di mainkan bersama-sama secara serentak.
2. SULING
Salah satu dari sekian banyak alat musik di tatar Sunda adalah Suling. Suling adalah alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu atau terbuat dari bambu. Suara
suling berciri lembut dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya dengan
baik.
Suling modern untuk para ahli umumnya
terbuat dari perak, emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat
dari nikel-perak, atau logam yang dilapisi perak.
Suling konser standar ditalakan di C
dan mempunyai jangkauan nada 3 oktaf dimulai dari middle C. Akan tetapi, pada beberapa suling untuk para ahli ada
kunci tambahan untuk mencapai nada B di bawah middle C. Ini berarti suling merupakan salah satu alat musik
orkes yang tinggi, hanya piccolo yang lebih tinggi lagi dari suling.
Piccolo adalah suling kecil
yang ditalakan satu oktaf lebih tinggi dari suling konser standar. Piccolo juga umumnya digunakan dalam orkes.
Suling konser modern memiliki banyak
pilihan. Thumb key B-flat
(diciptakan dan dirintis oleh Briccialdi) standar. B foot joint, akan tetapi, adalah pilihan ekstra untuk model
menengah ke atas dan profesional.
Suling open-holed, juga biasa disebut French Flute (di mana beberapa kunci memiliki lubang di
tengahnya sehingga pemain harus menutupnya dengan jarinya) umum pada pemain
tingkat konser. Namun beberapa pemain suling (terutama para pelajar, dan bahkan
beberapa para ahli) memilih closed-hole
plateau key. Para pelajar umumnya menggunakan penutup sementara untuk
menutup lubang tersebut sampai mereka berhasil menguasai penempatan jari yang
sangat tepat.
Beberapa orang mempercayai bahwa
kunci open-hole mampu
menghasilkan suara yang lebih keras dan lebih jelas pada nada-nada rendah.
Suling konser pada sebelum Era
Klasik (1750) memakai Suling Blok (seperti gambar atas), sedangkan pada sebelum
Era Romantis (Era Klasik 1750-1820) pakai Suling Albert (kayu hitam berlubang
dan dilengkapi klep), dan sejak Era Romantis (1820) memakai suling Boehm (kayu
hitam atau metal dilengkapi klep semua yang disebut juga suling Boehm, sistem
Carl Boehm), atau suling saja.
Khusus musik keroncong di Indonesia pada Era Stambul (1880-1920) memakai suling Albert, dan pada
Era Keroncong Abadi (1920-1960) telah memakai suling Bohm.
Dalam unsur
ke-Sundaan, suling merupakan
salah satu jenis instrumen karawitan (Sunda) yang teknik memainkannya adalah
dengan cara ditiup. Dengan demikian, suling sebagai instrumaen karawitan lebih
mengandalkan udara sebagai penghasil bunyi atau nada. Maka suling digolongkan
kepada jenis aerophone.
2.1 Bahan Pembuatan Suling
Ditinjau dari segi bahan (organologi) maka waditra
suling yang biasa dipergunakan dalam musik karawitan adalah terbuat dari bahan
bambu. Adapun jenis-jenis bambu yang baik untuk dijadikan sebagai bahan
pembuatan suling, antara lain ialah, bambu tamiang, bambu irateun, dan
bambu bunar, yaitu: jenis bambu yang memiliki ruas atau buku yang
panjang, dengan kulit yang sangat tipis dan bentuknya lurus, memiliki diameter
± 1 s/d 3 cm. Jenis-jenis bambu inilah yang sangat cocok untuk membuat suling,
sejak dulu hingga sekarang.
Dengan demikian, tidak semua jenis bambu dapat
dipergunakan untuk membuat suling. Hal ini disebabkan karena pertimbangan
kualitas jenis bambu sebagai bahan untuk mencapai kesempurnaan bunyi yang dihasilkan
dari instrumen tersebut.
Pertimbangan mengenai pemilihan bahan yang berkualitas
akan sangat berpengaruh terhadap daya tahan atau kekuatan bahan tersebut.
Misalnya saja, jenis bambu yang dipergunakan untuk membuat suling harus sudah
tua (kering), karena bambu yang tua atau kering tidak akan mengalami perubahan,
misalnya, menciut atau mengerut.
2.2 Teknik Meniup
Berdasarkan mekanisme (teknik pembunyiannya), maka
udara yang dihasilkan adalah merupakan hasil pompaan dari rongga perut,
kemudian udara di salurkan melalui rongga mulut dan bibir yang menempel
pada waditra suling, sehingga udara masuk melalui lobang sumber (suliwer),
selanjutnya merambat ke dalam lobang resonansi atau rongga bambu. Pada
prinsipnya waditra suling selain merupakan instrumen tiup, juga dapat
digolongkan ke dalam instrumen kompa (pompa), karena sebenarnya sumber
udara atau tiupan itu berasal dari pompaan rongga perut.
Untuk menghasilkan variasi nada-nada dalam memainkan
suling, dipergunakan jenis-jenis teknik tiupan yang berbeda. Misalnya, untuk
menghasilkan nada rendah (sora ageung) posisi mulut lebih membesar
dengan tekanan udara dari perut lebih rendah dan lirih atau menghembus. Dalam
karawitan Sunda teknik yang demikian disebut juga dengan istilah teknik gebos.
Sedangkan untuk menghasilkan nada tinggi (sora alit) posisi bibir
harus lebih merapat atau mengecil, disertai dengan tekanan udara keras yang
bersumber dari pompaan mulut.
Teknik meniup suling yang baik akan mempengaruhi
terhadap pembentukan nada-nada yang baik pula. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
latihan-latihan yang sungguh-sungguh untuk dapat melakukan teknik meniup yang
sempurna.
2.3 Jenis dan bentuk Suling
Dalam musik (karawitan) Sunda jenis atau bentuk suling
dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu:
1.
Suling
Lobang Enam (liang genep / suling panjang)
Suling lobang enam disebut
juga dengan istilah suling pélog. Disebut suling pélog, karena waditra
tersebut berlaras pélog, yang dibedakan dengan laras degung. Adapun
yang membedakan antara laras pelog dengan laras degung pada waditra
suling yaitu pada jumlah nada-nada yang terdapat pada kedua jenis waditra
tersebut. Nada-nada yang terdapat pada suling lobang enam meliputi nada:
1 (da), 2 (mi), 3 (na), 4 ti), 5 (la), dan 5+ (leu). Sedangkan nada-nada yang
terdapat pada waditra suling lobang empat hanya meliputi nada: 1 (da), 2
(mi), 3 (na), 4 ti), dan 5 (la).
Jenis-jenis nada yang terdapat
pada suling lobang enam, sama persis dengan nada-nada yang terdapat pada
gamelan pélog. Oleh sebab itu, kita menyebutnya dengan istilah suling
pélog. Sedangkan nada-nada yang terdapat pada suling lobang empat, sama
persis dengan yang terdapat pada gamelan degung klasik. Oleh sebab itu,
kita menyebut suling lobang empat dengan istilah suling degung.
Istilah lain untuk menyebut
suling lobang enam adalah suling tembang (cianjuran) dan suling kawih. Disebut
suling tembang dan suling kawih, karena waditra tersebut
sering dipergunakan untuk mengiringi / menyertai lagu-lagu dalam bentuk tembang
(cianjuran) dan lagu-lagu dalam bentuk kawih. Hanya saja, suling yang
dipergunakan dalam seni tembang dan seni kawih terdapat sat
perbedaan, yaitu dalam hal ukuran panjangnya.
2.
Suling
Lobang Empat (liang opat / suling pendek)
Suling lobang empat disebut
juga dengan istilah suling degung, karena selain waditra ini
berlaras degung, juga suling ini dipergunakan dalam seni degung atau
gamelan degung.
Jadi istilah degung diambil dari dua pengertian, yakni: degung sebagai
laras, serta degung sebagai perangkat (ensambel) gamelan
2.4 Fungsi Suling
Suling—baik suling lobang empat atau lobang enam—dalam
music karawitan berfungsi sebagai pembawa melodi. Melodi-melodi yang disajikan
oleh waditra suling, merupakan hasil daripada teknik permainan dari
masing-masing jari yang menutup dan membuka lobang nada pada suling tersebut.
Adapun ketentuan jenis melodi , maupun karakteristik
melodi yang dihasilkan oleh suling tergantung pada teknik tengkepan (penjarian)
dari masing-masing laras. Misalnya, karakteristik melodi pada laras pelog akan
berbeda dengan laras madenda/sorog dan salendro.
Ditinjau
dari segi fungsi musical maka suling dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu:
1.
Fungsi
suling untuk membawakan lagu-lagu dalam bentuk instrumental, dimana pada bentuk
ini suling berfungsi untuk membawakan lagu-lagu utuh sebagai pengganti juru
sekar atau vokalis tidak dilibatkan.
2.
Fungsi
suling untuk menyertai lagu-lagu dalam bentuk vokalia (sekaran)
Dalam
bentuk vokalia fungsi suling dibagi menjadi, sbb:
-
Lilitan
melodi yaitu suatu bentuk melodi dimana
suling melakukan jalinan alur melodi secara bebas kadang terlepas dari lagu
utuh, sehingga kesan yang didapat dari melodi tersebut adalah “melilit” atau
“membungkus” melodi yang dibawakan oleh juru sekar. Dalam melakukan
lilitan, waditra suling biasanya menggunakan melodi yang pendek dan
terputus-putus.
-
Gelenyu yaitu
bentuk melodi pendek yang disajikan oleh suling yang fungsinya untuk mengisi
kekosongan sebelum dan sesudah juru sekar membawakan lagu secara utuh.
-
Ornamentasi
(hiasan lagu) adalah untuk
memberikan variasi-variasi melodi, biasanya berbarengan dengan vokalis. Teknik
ornamentasi memiliki kecenderungan penyimpangan melodi dari melodi asal atau
baku, namun tidak menghilangkan kesan melodi utuh dari lagu tersebut.
Sanjaya, Rizki. Suling di Sunda. Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/06/suling-di-sunda_30.html. diakses Hari, 00 Bulan 0000.
DAFTAR PUSTAKA
Suparman, Ade. 1999. Etude Suling METODE PRAKTIS
BELAJAR SULING SUNDA. Bandung: Mitra Buana.
Jatinangor, Minggu, 30 Juni 2013
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad
No comments:
Post a Comment