3 April 2013

Metode Pengelompokan Bahasa


METODE PENGELOMPOKAN BAHASA
I.                   PENDAHULUAN
Secara garis besar Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka, metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Di dalam masyarakat, kata bahasa sering dipergunakan dalam pelbagai konteks dengan pelbagai macam makna. Lantas apa itu bahasa?
Bahasa adalah sarana ekspresi diri bagi manusia. Bahasa sebagai objek komunikasi perannya sangat besar dalam kehidupan, dari bahasa pula kita dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahasa adalah, kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh dari sebuah sistem komunikasi yang kompleks.
 “Karena bahasa selalu hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalam alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. Ia hadir karena karunia Tuhan Sang Penguasa alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan diri pada manusia bukan melalui Zat-Nya, tapi lewat bahasa-Nya, yaitu bahasa alam dan kitab suci.” (Hidayat, 2006:21)
Menurut Harimurti, batasan bahasa berfungsi sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian ‘bahasa’ ke dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer, pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun, tingkah laku yang baik. Charles Morris pun dalam bukunya Sign, Language, and Behaviour (1946) yang membicarakan bahasa sebagai sistem lambang, membedakan adanya tiga macam kajian bahasa berkenaan dengan fokus perhatian yang diberikan. Jika perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang dengan maknanya disebut semantik; jika fokus perhatian diarahkan pada hubungan lambang disebut sintaktik; dan kalau fokus perhatian diarahkan pada hubungan antara lambang dengan penuturnya disebut pragmatik.
Dua ilmuwan Barat, Bloch dan Trager, mendefinisikan bahasa sebagai suatu “sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi (Language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates).
Senada dengan Bloch dan Trager, Joseph Bram mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain (a language is a structured system of arbitrary vocal symbols by means of which members of a social group interact).
Ronald Wardhaugh, memberikan definisi “bahasa ialah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system of arbitrary vocal symbols used for human communication).
Dari definisi-definisi yang telah diungkapkan didapatkan kata kunci yang mengandung pengertian umum, yaitu kata “simbol”. Artinya bahwa bahasa pada dasarnya merupakan sistem simbol yang ada dalam alam ini. Seluruh fenomena simbolis yang ada di alam semesta ini pada dasarnya adalah bahasa.

II.                METODE PENGELOMPOKAN BAHASA
            Pengelompokan atau bisa juga disebut klasifikasi adalah sebuah metode untuk mengumpulkan suatu objek kajian agar dapat menghasilkan sebuah kesimpulan dan bersifat nyata atau tidak mengada-ngada, karena bahan yang dikumpulkan pun harus berasal dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dari sekian banyak bahasa di dunia ini sering muncul pertanyaan, apakah bahasa-bahasa yang ribuan jumlahnya itu muncul dan bertebaran di dunia seperti pepohonan yang terpisah satu sama lain ataukah ada hubungan yang mempersatukan ke dalam rumpun-rumpun tertentu?
Di dunia ini ada kurang lebih 6.700 bahasa yang dipakai orang untuk berbicara (Comrie, 2001). Beberapa bahasa di antara bahasa-bahasa di dunia itu mempunyai hubungan yang sangat dekat satu sama lain. Bahasa-bahasa yang berdekatan membentuk satu masyarakat bahasa, sementara kelompok yang berjauhan membentuk kelompok masyarakat bahasa yang lain. Pemisahan kelompok bahasa yang satu dari kelompok bahasa yang lain sudah berlangsung berabad-abad lamanya, sedangkan beberapa kelompok bahasa baru dipisahkan beberapa puluh tahun atau beberapa ratus tahun yang lampau (Croft, 2001). Kesamaan dan perbedaan yang nyata di antara kelompok-kelompok bahasa-bahasa ini tampak dengan jelas dalam kosakatanya.
Bahasa bersifat universal di samping juga unik. Jadi bahasa-bahasa yang ada di dunia ini di samping ada kesamaannya ada juga perbedaannya, atau ciri khasnya masing-masing. Sebelum abad XX hal ini belum banyak disadari orang. Namun, di Eropa dengan berkembangnya studi linguistik historis komparatif, studi yang mengkhususkan pada telaah perbandingan bahasa, maka orang mulai membuat klasifikasi terhadap bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Klasifikasi dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa. bahasa yang mempunyai kesamaan ciri dimasukkan kedalam satu kelompok. Dalam hal ini tentunya di samping kelompok, akan ada subkelompok, atau sub-subkelompok yang lebih kecil. Anggota dalam kelompok tentu lebih banyak daripada anggota dalam subkelompok; begitu jugaa anggota dalam subkelompok tentu lebih banyak daripada anggota dalm sub-subkelompok.
Bahasa-bahasa di dunia sangat banyak; dan para penuturnya juga terdiri dari bangsa, suku bangsa, atau etnis yang berbeda-beda. Ada begitu banya ciri yang bisa digunakan, sehingga hasil klasifikasi juga dapat bermacam-macam. Menurut Greenberg (1957:66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer, ekshaustik, dan unik.yang dimaksud dengan nonarbitrer adalah bahwa kriteria klasifikasi itu tidak boleh semaunya, hanya harus ada satu kriteria. Tidak boleh ada kriteria lainnya. Dengan kriteria yang satu ini, yang nonarbitrer, maka hasilnya akan ekshaustik. Artinya, setelah klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya; semua bahasa yang ada dapat masuk ke dalam salah satu kelompok. Selain itu, hasil klasifikasi juga harus bersifat unik. Maksudnya, kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelompok; dia tidak bisa masuk lagi ke dalam kelompok yang lain. Kalau sebuah bahasa bisa masuk ke dalam dua kelompok atau lebih, maka berarti hasil klasifikasi itu tidak unik.
Di dalam praktek membuat klasifikasi itu, ternyata tiga persyaratan yang diajukan Greenberg tidak dapat dilaksanakan, sebab banya sekali ciri-ciri bahasa yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi tidak hanya satu, tetapi banyak. Yang terpenting, dan bisa disebutkan disini, adalah (1) pendekatan genetis, (2) pendekatan tipologis, (3) pendekatan areal, dan (4) pendekatan sosiolinguistik.
A.    Klasifikasi Genetis
Klasifikasi genetis, disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan bahasa-bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa proto (bahasa tua, bahasa semula) akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa-bahasa lain. Kemudian bahasa-bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa-bahasa pecahan berikutnya.
Keadaan dari sebuah bahasa menjadi sejumlah bahasa lain dengan cabang-cabang dan ranting-rantingnya member gambaran seperti batang pohon yang berbalik. Karena itulah penemu ini, yaitu A.Schleicher, menamakannya teori batang pohon (bahasa Jerman:Stammbaumtheorie). Teori ini yang dikemukakan pada tahun 1866, kemudian dilengkapi oleh J. Schmidt dalam tahun 1872 dengan teori gelombang (bahasa Jerman:Wellentheorie). Maksud teori gelombang ini adalah bahwa perkembangan atau perpecahan bahasa itu dapat diumpamakan seperti gelombang yang disebabkan oleh sebuah batu yang dijatuhkan ke tengah kolam. Di dekat jatuhnya batu tadi akan tampak gelombang yang lebih tinggi; semakin jauh dari tempat jatuhnya batu itu gelombangnya semakin kecil atau semakin rendah; dan akhirnya  menghilang. Bahasa berkembang dengan cara seperti itu. Bahasa yang tersebar dekat dengan pusat penyebaran akan mempunyai ciri-ciri yang tampak jelas dengan bahasa induknya; tetapi yang lebih jauh ciri-cirinya akan lebih sedikit; dan yan paling kauh mungkin akan sangat sedikit; atau mungkin juga sukar dilihat.
Penyebaran bahasa biasanya terjadi karena penuturnya menyebar atau berpindah tempat sebagai akibat adanya peperangan atau bencana alam. Kemudian karena tidak ada kontak lagi dengan tempat asalnya, maka sedikit demi sedikit bahasanya menjadi berubah. Perubahan itu dapat terjadi pada semua tataran, dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon.
Klasifikasi genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi atau arti, yaitu atas kesamaan bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa-bahasa yang memiliki sejumlah kesamaan seperti itu dianggap berasal dari bahasa asal atau bahasa proto yang sama. Apa yang dilakukan dalam klasifikasi genetis ini sebenarnya sama dengan teknik yang dilakukan dalam linguistik historis komparatif, yaitu adanya korespodensi bentuk (bunyi) dan makna. Oleh karena itu, klasifikasi genetis bisa dikatakan merupakan hasil pekerjaan linguistik historis komparatif. Klasifikasi genetis ini, karena hanya menggunakan satu kriteria, yaitu garis keturunan atau dasar sejarah perkembangan yang sama, maka sifatnya menjadi nonarbitrer. Dengan menggunakan dasar itu pula, maka semua bahasa yang ada di dunia ini habis terbagi, atau bisa dimasukkan ke dalam salah satu kelompok. Karena itu, sifatnya juga menjadi ekshaustik atau tuntas. Kemudian, karena setiap bahasa masuk ke dalam salah satu kelompok menurut garis keturunannya, maka akibatnya dia tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok yang lain. Jadi, klasifikasi ini bersifat unik.
Sejauh ini, hasil klasifikasi yang telah dilakukan, dan banyak diterima orang secara umum, adalah bahwa bahasa-bahasa yang ada di dunia ini terbagi dalam sebelas rumpun besar. Lalu, setiap rumpun dapat dibagi lagi atas subrumpun, dan sub-subrumpun yang lebih kecil. Kesebelas rumpun itu adalah:
1.      Rumpun Indo Belanda, yakni bahasa-bahasa German, Indo-Iran, Armenia,  Baltik, Slavik, Roaman, Keltik, dan Gaulis.
2.      Rumpun Hamito-Semit atau Afro-Asiatik, yakni bahasa-bahasa Koptis, Berber, Kushid, Chad yang termasuk dalam subrumpun Hamit; dan bahasa Arab, Etiopik, dan Ibrani yang termasuk subrumpun Semit.
3.      Rumpun Chari-Nil, yakni bahasa-bahasa Swahili, Bantuk dan Khoisan.
4.      Rumpun Dravida, yakni bahasa-bahasa Telugu, Tamil, Kanari, dan Malayalam.
5.      Rumpun Austronesia (disebut juga Melayu Polinesia), yaitu bahasa-bahasa Indonesia (Melayu, Austronesia Barat), Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia.
6.      Rumpun Kaukasus
7.      Rumpun finno-Ugris, yaitu bahasa-bahasa Hungar, Lapis, dan Samoyid.
8.      Rumpun Paleo Asiatis atau Hiperbolis, yaitu bahasa-bahasa yang terdapat di Siberia Timur.
9.      Rumpun Ural-Altai, yaitu bahasa-bahasa Mongol, Manchu, Tungu, Turki, Korea, dan Jepang.
10.  Rumpun Sino-Tibet, yakni bahasa-bahasa Yenisei, Ostyak, Tibeto, Burma, dan Cina.
11.  Rumpun bahasa-bahasa Indian, yakni bahasa-bahasa Eskimo, Aleut, Na-Dene, Algonkin, Wakshan, Hokan, Sioux, Penutio, Aztek-Tanoan, dan sebagainya.
Klasifikasi genetis ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasa-bahasa di dunia ini bersifat divergensif, yakni memecah dan menyebar menjadi banyak; tetapi pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih, perkembangan yang konvergehensif tampaknya akan lebih mungkin dapat terjadi. Kemungkinan besar akan ada bahasa-bahasa yang mati ditinggalkan penutur, yang karena berbagai pertimbangan beralih menggunakan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan.

B.     Klasifikasi Tipologis
Klasifikasi tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe-tipe yang terdapat pada sejumlah bahasa. tipe ini merupakan unsur tertentu yang dapat timbul berulang-ulang dalam suatu bahasa. Unsur yang berulang ini dapat mengenai bunyi, morfem, kata, frase, kalimat, dan sebagainya. Oleh karena itu, klasifikasi tipologi dapat dilakukan pada semua tataran bahasa. dan hasil klasifikasinya juga dapat bermacam-macam.Akibatnya hasil klasifikasi ini menjadi bersifat arbitrer, karena tidak terikat oleh tipe tertentu, melainkan bebas menggunakan tipe yang mana saja, atau menggunakan berbagai macam tipe. Namun hasilnya itu masih tetap ekshaustik dan unik. Klasifikasi tipologi ini telah banyak dilakukan orang, dan hasilnya pun tidak sedikit.
Klasifikasi pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, adalah yang semata-mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi. Yang mula-mula mengusulkan klasifikasi morfologi ini adalah Fredrich Von Schlegel. Dia membagi bahasa-bahasa di dunia ini pada tahun 1808 menjadi dua kelompok, yaitu (1) kelompok bahasa berafiks, dan (2) kelompok bahasa berfleksi. Pembagian ini kemudian diperluas oleh kakanya, August Von Schlegel, pada tahun 1818 menjadi (1) bahasa tanpa struktur gramatikal (seperti bahasa Cina); (2) bahasa berafiks (seperti bahasa Turki), dan (3) bahasa berfleksi (seperti bahasa Sansekerta dan bahasa Latin). Klasifikasi yang dibuat oleh August Von Schlegel ini kemudian dijadikan model oleh sarjana-sarjana sesudahnya, seperti Wilhelm Von Humbol (dan diikuti oleh A.F. Pott) yang membuat klasifikasi baru menjadi (1) bahasa isolatif (sama dengan bahasa tanpa struktur); (2) bahasa aglutunatif (sama dengan bahasa berafiks); (3) bahasa fleksi aau sintetis; dan (4) bahasa polisintetis atau bahasa inkorporasi. Yang terakhir ini sebenarnya merupakan perincian dari bahasa aglutunatif, yang karena begitu kompleksnya perlu diberi status sendiri. Misalnya bahasa Eskimo dan beberapa bahasa Indian.
Kelompok kedua, adalah yang menggunakan akar kata sebagai dasar klasifikasi. Tokohnya, antara lain, Franz Bopp, yang membagi bahasa-bahasa di dunia ini atas bahasa yang mempunyai (1) akar kata yang monosilabis, misalnya bahasa Cina; (2) akar kata yang mampu mengadakan komposisi, misalnya bahasa-bahasa Indo Eropa dan bahasa Austronesia; dan (3) akar kata yang disilabis dengan tiga konsonan, seperti bahasa Arab dan Ibrani. Sarjana lain, Max Muller, yang juga menggunakan akar kata sebagai dasar klasifikasi membagi bahasa-bahasa di dunia inimenjadi (1) bahasa akar, seperti bahasa Cina; (2) bahasa Internasional, seperti bahasa Turki dan bahasa Austronesia, dan (3) bahasa infleksional, seperti bahasa Arab dan bahasa-bahasa Indo Eropa.
Kelompok ketiga, adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi. Pakarnya, antara lain, H. Steinthal yang membagi bahasa-bahasa di dunia atas (1) bahasa-bahasa yang berbentuk, dan (2) bahasa-bahasa yang tidak berbentuk. Yang dimaksud bahasa yang berbentuk adalah bahasa yang di dalam kalimatnya terdapat relasi antar kata. Bahasa yang berbentuk ini dibagi lagi menjadi (a) bahasa kolokatif, misalnya bahasa Cina; (b) bahasa derivatif dengan Jukstaposisi, misalnya bahasa Koptis; (c) bahasa derivatif dengan perubahan akar kata, misalnya bahasa Semit; (d) bahasa derivatif dengan sufiks sebenarnya, misalnya bahasa Sansekerta. Kemudian bahasa-bahasa yang tidak berbentuk dibagi lagi menjadi (a) bahasa kolokatif, misalnya bahasa Indo China; (b) bahasa derivatif dengan reduplikasi dan prefix, misalnya bahasa Austronesia; (c) bahasa derivatif dengan sufiks, misalnya bahasa Turki; dan (d) bahasa inkorporasi, yaitu bahasa-bahasa Indian Amerika. Franz Misteli mengikuti jejak Steinthal dengan sistematik yang agak berbeda. Bahasa berbentuk hanya dibagi satu kelompok yaitu bahasa dengan kata yang sesungguhnya (infleksi). Bahasa tidak berbentuk dibagi atas (a) bahasa dengan kata yang berbentuk kalimat, misalnya bahasa Indian Amerika; (b) bahasa isolatif akar, misalnya bahasa Cina; (c) bahasa isolatif dasar, misalnya bahasa Melayu; (d) bahasa jukstaposisi, misalnya bahasa Koptis; (e) bahasa dengan kata yang jelas, misalnya bahasa Turki.
Pada abad XX ada juga dibuat pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang berbeda, misalnya yang dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954). Edward Sapir menggunakan tiga parameter untuk mengklasifikasikan bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Keriga parameter itu adalah (1) konsep-konsep gramatikal; (2) proses-proses gramatikal; dan (3) tingkat penggabungan morfem dalam kata. Berdasarkan parameter (1) dibedakan adanya bahasa relasional murni sederhana, dan bahasa relasional murni kompleks, bahasa relasional campuran sederhana, dan bahasa relasional campuran kompleks. Berdasarkan parameter (2) ada bahasa isolatif, aglutunatif, fusional, dan simbolik. Lalu, berdasarkan parameter (3) ada bahasa analisis, sintetis, dan polisintetis. J. Greenberg menegmbangkan gagasan Sapir dalam suatu klasifikasi yang lebih bersifat kuantitatif dengan mengajukan lima parameter. Parameter pertama menyangkut jumlah morfem yang ada dalam sebuah kalimat; parameter kedua menyangkut jumlah sendi (juncture) yang terdapat dalam sebuah konstruksi; parameter ketiga menyangkut kelas-kelas morfem yang membentuk sebuah kata (akar, derivasi, infleksi); parameter keempat mempersoalkan jumlah afiks yang ada dalam sebuah konstruksi; dan parameter kelima mempersoalkan hubungan kata dengan kata di dalam kalimat.

C.     Klasifikasi Areal
Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal-balik antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak. Yang terpenting adanya data pinjam-meminjam yang meliputi pinjaman bentuk dan arti; atau pinjaman bentuk saja, atau juga pinjaman arti saja. Pinjam-meminjam ini karena kontak sejarah, bersifat historis dan konvergensif.
Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam kontak sejarah bahasa-bahasa itu memberikan pengaruh timbal-balik dalam hal-hal tertentu yang terbatas. Klasifikasi ini pun bersifat nonekshaustik, sebab masih banyak bahasa-bahasa di dunia ini yang masih bersifat tertutup, dalam arti belum menerima unsur-unsur luar. Jadi, bahasa yang seperti ini belum dapat masuk ke dalam salah satu kelompok. Selain itu, klasifikasi ini pun bersifat nonunik, sebab ada kemungkinan sebuah bahasa dapat masuk dalam kelompok tertentu dan dapat pula masuk ke dalam kelompok lainnya lagi.
Usaha klasifikasi berdasarkan areal ini pernah dilakukan oleh Wilhelm Schmidt (1868-1954) dengan bukunya Die Sprachfamilien und Sprachenkreise der Ende, yang dilampiri dengan peta. Dalam peta itu diperlihatkan distribusi geografis dari kelompok-kelompok bahasa yang penting, disertai dengana ciri-ciri tertentu dari bahasa-bahasa tersebut. Pada tataran fonologi Schmidt menggambarkan distribusi geografis dari bunyi-bunyi tertentu pada posisi awal dan posisi akhir. Pada tataran sintaksis dia mendreskripsikan distribusi bermacam-macam kategori dari jumlah kata benda dan kata ganti orang. Pada tataran morfologi dia menggambarkan distribusi dari tujuh kelompok kata yang kontrastif dalam semua kombinasinya: animate Vs inanimate, orang Vs benda, maskulin Vs feminin Vs neutrum. Pada tataran leksikal dia menunjukkan distribusi dari sistem bilangan.

D.    Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat; tepatnya, berdasarkan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart pada tahun 1962 yang dapat kit abaca dalam artikelnya “An Outline of Linguistic Typology for Describing Multilingualism”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri atau kriteria, yaitu historisitas, standardisasi, vitalitas, dan homogenesitas.
Historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu. Kriteria historisitas ini akan menjadi positif kalau bahasa itu mempunyai sejarah perkembangan atau sejarah pemakaiannya. Kriteria  standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku, atau statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal. Vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai mempunyai penutur yang menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari secara aktif, atau tidak. Sedangkan homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu diturunkan.
Dengan menggunakan keempat ciri di atas, hasil klasifikasi bisa menjadi ekshaustik sebab semua bahasa yang ada di dunia dapat dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Tetapi hasil ini tidak unik, sebab sebuah bahasa bisa mempunyai status yang berbeda. Dan klasifikasi sosiolinguistik ini juga sifatnya arbitrer, dikarenakan tidak ada ketentuan dalam klasifikasi sosiolinguistik hanya harus menggunakan empat kriteria itu, maka ada kemungkinan pakar lain akan menggunakan kriteria lain lagi.


Sanjaya, Rizki. Metode Pengelompokan Bahasa. Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/04/metode-pengelompokan-bahasa.html. Diakses Hari, 00 Bulan 0000.

                                                                   DAFTAR PUSTAKA

Andriana, Winda. Asal Usul Bahasa. Melalui http://kampusmaya.org/2012/02/23/asal-usul-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.

Bahasa. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa. diakses Kamis, 18 Oktober 2012.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

------- 2004. SOSIOLINGUISTIK PERKENALAN AWAL. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

Faqihuddin, Didin. BAHASA: PERTUMBUHAN DAN ASAL-USULNYA. Melalui dienfaqieh.wordpress.com/.../bahasa-pertumbuhan-dan-asal-usulnya/. Diakses Rabu, 20 Februari 2013.

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat BAHASA. Bandung: ROSDA.

Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

M, Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Metode. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Metode. diakses Kamis, 18 Oktober 2012.

Rawit, Intan. Teori Asal Mula Bahasa. Melalui http://intan.blog.ugm.ac.id/2012/10/19/teori-asal-mula-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.

Wahab, Abdul. 1991. ISU LINGUISTIK Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.

Bandung, Rabu, 03 April 2013
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad


2 comments: