10 August 2018

Bahasa Daerah Pemicu Perselisihan(?)


Setiap saat dalam hitungan jam, menit, bahkan detik manusia selalu menggunakan bahasa di kehidupannya. Entah itu dilisankan maupun dalam hati, entah ada lawan bicara maupun sedang sendiri. Ketika menemui sebuah tulisan, manusia akan tetap berbahasa pada saat melafalkan bentuk tulisan yang dilihatnya. Mungkin demikian gambaran kecil dari bahasa.
Pada hari Rabu 08 Agustus 2018 pukul 16:40 WIB, dikutip dari laman jawapos.com Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi menilai bahwa keberagaman bahasa lokal bisa memicu perselisihan antar warga. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan makna dalam bahasa lokal yang membuat adanya kesalahpahaman. Lebih lanjut Mendikbud mewacanakan untuk melakukan penyerapan bahasa lokal menjadi induk bahasa.
Dalam tataran bahasa, dikenal istilah dialek. Dialek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (misalnya bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu). Dialek adalah ragam lain dari bahasa daerah, contohnya di Sunda; penutur bahasa Sunda bisa menemukan sebuah dialek ketika berbicara dengan lawan bicara yang berasal dari wilayah yang berbeda. Misal orang yang berasal dari wilayah Tasikmalaya akan sedikit heran jika untuk pertama kalinya bertemu dengan orang yang berasal dari ujung Banten. Meski sama-sama berbahasa Sunda, namun pada kenyataannya dari gaya bicara, kosakata, hingga tata bahasa yang digunakan dalam beberapa hal terlihat adanya perbedaan. Bisa saja hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman seperti apa yang diujarkan oleh Menteri Muhadjir Effendi, terlebih dari segi pemahaman makna ungkapan serta struktur makna yang ditangkapnya. Namun pada kenyataannya jarang sekali ditemukan pemberitaan mengenai konflik bahasa daerah di Sunda.
Beralih jika kasus yang dihadapi adalah pertemuan dua bahasa daerah yang berbeda. Sering kelompok suporter sepakbola yang menjalankan rutinitas menonton tim kesayangannya ke kota lain berhadapan dengan penduduk sekitar yang sudah jelas berbeda bahasa daerah. Kita ambil contoh sekelompok bobotoh asal Bandung yang datang ke Surabaya. Meski berbeda bahasa daerah, namun penulis belum menemukan pemberitaan di media yang menyatakan bahwa bahasa daerah memicu pertikaian antar dua kelompok suporter sepakbola. Alih-alih demikian, pada kenyataannya entah publik Bandung maupun Surabaya sama-sama saling menanyakan arti kosakata dari bahasa daerahnya masing-masing. Padahal jika dilihat dari jumlah gerakan invasi suporter sepakbola, bukan hanya puluhan orang yang bisa datang dalam sebuah kesempatan menonton laga tandang, bahkan bisa ribuan.
***



"Bahasa daerah memang harus dilestarikan, dibina dan mengembangkannya. Tetapi banyaknya bahasa itu jumlah penuturnya hanya ratusan atau ribuan, ada baiknya kemudian dipilih bahasa induk dari bahasa lokal yang banyak itu diserap," demikian salah satu pernyataan dari Menteri Muhadjir Effendi. Sekilas dalam kalimat awal dijelaskan bahwa bahasa daerah harus dilestarikan, dibina bahkan dikembangan. Namun pada kalimat selanjutnya muncul niatan untuk menciptakan sebuah bahasa induk baru dan menghilangkan bahasa yang penuturnya tinggal ratusan hingga ribuan.
Sedikit mundur ke tahun 2013, saat itu muncul geliat dari tokoh-tokoh pegiat sastra dan bahasa daerah di beberapa wilayah yang mempertanyakan kedudukan bahasa daerah dalam mata pelajaran akan di kemanakan oleh Mendikbud saat itu. Meski akhirnya sang Menteri berujar bahwa bahasa daerah sebenarnya tidak akan dihapus, namun cakupannya mengambil dari jam pelajaran seni budaya dan prakarya. Namun pernyataan tersebut tetap saja memunculkan kekhawatiran dari pegiat sastra dan bahasa daerah. Ada kejadian unik di tahun yang sama, yaitu pada saat Program Studi Sastra Sunda Universitas Padjadjaran, meningkat peminatnya. Dari sebelumnya hanya di angka 300-an menjadi 1.300-an. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat daerah pun tidak tinggal diam ketika bahasa daerahnya akan dihapus. Dari keresahan tersebut timbul rasa ingin turut berjuang mempertahankan bahasa daerahnya melalui cara yang bisa mereka lakukan.
Sebetulnya tak perlu terlalu jauh membahas kejadian di tahun 2013. Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah jelas menjelaskan tentang bahasa daerah. Pada Pasal 1 Ayat 1 dan 2 yang berbunyi “Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat.” dan “Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-Kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia.”. Dari kedua ayat tersebut, menurut hemat penulis bahasa daerah tentu termasuk di dalamnya. Karena bahasa daerah merupakan sebuah budaya hasil cipta, rasa, karsa, dan karya masyarakat. Kemudian bahasa daerah yang bertahan hingga saat ini adalah buah dari interaksi antar-kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Kemudian akan lebih jelas kedudukannya jika ditambah Pasal 5 yang menjelaskan bahwa “Objek Pemajuan Kebudayaan meliputi: (a) tradisi lisan, (b) manuskrip, (c) adat istiadat, (d) ritus, (e) pengetahuan tradisional, (f) teknologi tradisional, (g) seni, (h) bahasa, (i) permainan rakyat, dan (j) olahraga tradisional.”.
***
Ada ketakkonsistenan dalam pemberian judul di laman jawapos.com. Pada awalnya penjudulan tersebut berbunyi “Rawan Gesekan, Menteri Muhadjir Effendi Wacanakan Penghapusan Bahasa Daerah” namun selang beberapa saat judul tersebut diganti sebanyak dua kali, yaitu: “Rawan Gesekan, Menteri Muhadjir Effendi Wacanakan Penghapusan Bahasa Lokal” kemudian “Rawan Gesekan, Menteri Muhadjir Effendi Wacanakan Penyerapan Bahasa Lokal”. Ada ketakutan dari redaksi terkait pemberian judul awal dan kedua, namun tetap saja apa yang terkandung dari isi artikel tersebut, secara tak langsung sudah membuat perasaan orang-orang yang berjuang melestarikan bahasa daerahnya miris.
Sedikit opini dari penulis, mungkin Bapak Menteri Muhadjir Effendi dapat mencoba cara lain, yaitu dengan cara menambah kuota guru bahasa Indonesia di daerah-daerah terdalam, agar ketika perselisihan yang dimaksud timbul dapat segera diredam jika pihak yang berselisih bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Atau mencoba mengumpulkan orang-orang yang bisa menguasai beberapa bahasa daerah di wilayah rawan perselisihan, karena menurut Mia Lauder dari Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia “Seseorang yang mampu bicara berbagai macam bahasa membuat seseorang menjadi jauh lebih bijaksana dalam menangani masalah dibanding dengan yang bisa satu bahasa karena bisa melihat masalah dari berbagai perspektif”. Pasalnya meski baru sekadar wacana, apa yang diujarkan Bapak Menteri Muhadjir Effendi seakan-akan menjadi upaya penghapusan sejumlah bahasa daerah yang selama ini berusaha dipertahankan oleh penuturnya.
Bandung, Agustus 2018

1 comment:

  1. Nais bok. Teu nu baheula nu ayeuna angger wè nya ieu mendikbud asa kadedemes kana bahasa daérah tèh

    ReplyDelete