Setiap saat dalam hitungan jam, menit, bahkan detik
manusia selalu menggunakan bahasa di kehidupannya. Entah itu dilisankan maupun
dalam hati, entah ada lawan bicara maupun sedang sendiri. Ketika menemui sebuah
tulisan, manusia akan tetap berbahasa pada saat melafalkan bentuk tulisan yang
dilihatnya. Mungkin demikian gambaran kecil dari bahasa.
Pada hari Rabu 08 Agustus 2018 pukul 16:40 WIB, dikutip
dari laman jawapos.com Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi menilai bahwa
keberagaman bahasa lokal bisa memicu perselisihan antar warga. Kondisi ini
dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan makna dalam bahasa lokal yang membuat
adanya kesalahpahaman. Lebih lanjut Mendikbud mewacanakan untuk melakukan
penyerapan bahasa lokal menjadi induk bahasa.
Dalam tataran bahasa, dikenal istilah dialek. Dialek
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki
arti variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (misalnya bahasa dari
suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu). Dialek
adalah ragam lain dari bahasa daerah, contohnya di Sunda; penutur bahasa Sunda
bisa menemukan sebuah dialek ketika berbicara dengan lawan bicara yang berasal
dari wilayah yang berbeda. Misal orang yang berasal dari wilayah Tasikmalaya
akan sedikit heran jika untuk pertama kalinya bertemu dengan orang yang berasal
dari ujung Banten. Meski sama-sama berbahasa Sunda, namun pada kenyataannya
dari gaya bicara, kosakata, hingga tata bahasa yang digunakan dalam beberapa
hal terlihat adanya perbedaan. Bisa saja hal tersebut menimbulkan
kesalahpahaman seperti apa yang diujarkan oleh Menteri Muhadjir Effendi,
terlebih dari segi pemahaman makna ungkapan serta struktur makna yang
ditangkapnya. Namun pada kenyataannya jarang sekali ditemukan pemberitaan
mengenai konflik bahasa daerah di Sunda.
Beralih jika kasus yang dihadapi adalah pertemuan dua
bahasa daerah yang berbeda. Sering kelompok suporter sepakbola yang menjalankan
rutinitas menonton tim kesayangannya ke kota lain berhadapan dengan penduduk
sekitar yang sudah jelas berbeda bahasa daerah. Kita ambil contoh sekelompok bobotoh asal Bandung yang datang ke Surabaya.
Meski berbeda bahasa daerah, namun penulis belum menemukan pemberitaan di media
yang menyatakan bahwa bahasa daerah memicu pertikaian antar dua kelompok suporter
sepakbola. Alih-alih demikian, pada kenyataannya entah publik Bandung maupun
Surabaya sama-sama saling menanyakan arti kosakata dari bahasa daerahnya
masing-masing. Padahal jika dilihat dari jumlah gerakan invasi suporter
sepakbola, bukan hanya puluhan orang yang bisa datang dalam sebuah kesempatan
menonton laga tandang, bahkan bisa ribuan.
"Bahasa
daerah memang harus dilestarikan, dibina dan mengembangkannya. Tetapi banyaknya
bahasa itu jumlah penuturnya hanya ratusan atau ribuan, ada baiknya kemudian
dipilih bahasa induk dari bahasa lokal yang banyak itu diserap," demikian
salah satu pernyataan dari Menteri Muhadjir Effendi. Sekilas dalam kalimat awal
dijelaskan bahwa bahasa daerah harus dilestarikan, dibina bahkan dikembangan.
Namun pada kalimat selanjutnya muncul niatan untuk menciptakan sebuah bahasa
induk baru dan menghilangkan bahasa yang penuturnya tinggal ratusan hingga
ribuan.
Sedikit
mundur ke tahun 2013, saat itu muncul geliat dari tokoh-tokoh pegiat sastra dan
bahasa daerah di beberapa wilayah yang mempertanyakan kedudukan bahasa daerah dalam
mata pelajaran akan di kemanakan oleh Mendikbud saat itu. Meski akhirnya sang
Menteri berujar bahwa bahasa daerah sebenarnya tidak akan dihapus, namun
cakupannya mengambil dari jam pelajaran seni budaya dan prakarya. Namun pernyataan
tersebut tetap saja memunculkan kekhawatiran dari pegiat sastra dan bahasa
daerah. Ada kejadian unik di tahun yang sama, yaitu pada saat Program Studi
Sastra Sunda Universitas Padjadjaran, meningkat peminatnya. Dari sebelumnya
hanya di angka 300-an menjadi 1.300-an. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat
daerah pun tidak tinggal diam ketika bahasa daerahnya akan dihapus. Dari
keresahan tersebut timbul rasa ingin turut berjuang mempertahankan bahasa
daerahnya melalui cara yang bisa mereka lakukan.
Sebetulnya
tak perlu terlalu jauh membahas kejadian di tahun 2013. Undang-Undang No 5
Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah jelas menjelaskan tentang bahasa
daerah. Pada Pasal 1 Ayat 1 dan 2 yang berbunyi “Kebudayaan adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat.” dan
“Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi
antar-Kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia.”. Dari kedua ayat
tersebut, menurut hemat penulis bahasa daerah tentu termasuk di dalamnya.
Karena bahasa daerah merupakan sebuah budaya hasil cipta, rasa, karsa, dan
karya masyarakat. Kemudian bahasa daerah yang bertahan hingga saat ini adalah
buah dari interaksi antar-kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Kemudian akan lebih jelas kedudukannya jika ditambah Pasal 5 yang menjelaskan
bahwa “Objek Pemajuan Kebudayaan meliputi: (a) tradisi lisan, (b) manuskrip,
(c) adat istiadat, (d) ritus, (e) pengetahuan tradisional, (f) teknologi
tradisional, (g) seni, (h) bahasa, (i) permainan rakyat, dan (j) olahraga
tradisional.”.
***
Ada ketakkonsistenan dalam pemberian judul di laman jawapos.com. Pada awalnya penjudulan
tersebut berbunyi “Rawan Gesekan, Menteri Muhadjir Effendi Wacanakan
Penghapusan Bahasa Daerah” namun selang beberapa saat judul tersebut diganti sebanyak
dua kali, yaitu: “Rawan Gesekan, Menteri Muhadjir Effendi Wacanakan Penghapusan
Bahasa Lokal” kemudian “Rawan Gesekan, Menteri Muhadjir Effendi Wacanakan Penyerapan
Bahasa Lokal”. Ada ketakutan dari redaksi terkait pemberian judul awal dan
kedua, namun tetap saja apa yang terkandung dari isi artikel tersebut, secara
tak langsung sudah membuat perasaan orang-orang yang berjuang melestarikan
bahasa daerahnya miris.
Sedikit opini dari penulis, mungkin Bapak Menteri
Muhadjir Effendi dapat mencoba cara lain, yaitu dengan cara menambah kuota guru
bahasa Indonesia di daerah-daerah terdalam, agar ketika perselisihan yang
dimaksud timbul dapat segera diredam jika pihak yang berselisih bisa berbahasa
Indonesia dengan baik. Atau mencoba mengumpulkan orang-orang yang bisa
menguasai beberapa bahasa daerah di wilayah rawan perselisihan, karena menurut
Mia Lauder dari Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia “Seseorang yang mampu bicara berbagai macam bahasa membuat seseorang
menjadi jauh lebih bijaksana dalam menangani masalah dibanding dengan yang
bisa satu bahasa karena bisa melihat masalah dari berbagai perspektif”. Pasalnya
meski baru sekadar wacana, apa yang diujarkan Bapak Menteri Muhadjir Effendi
seakan-akan menjadi upaya penghapusan sejumlah bahasa daerah yang selama ini berusaha dipertahankan oleh penuturnya.
Bandung, Agustus 2018
Nais bok. Teu nu baheula nu ayeuna angger wè nya ieu mendikbud asa kadedemes kana bahasa daérah tèh
ReplyDelete