14 December 2017

Persib dalam Perspektif Béntang Lapang


Alangkah dangkalnya pemahaman penulis mengenai arti dan bagaimana harus memaknai Persib, terlebih jika membandingkannya dengan orang-orang yang sudah lebih dulu menggilainya. Persib sebagai klub sepakbola asli Bandung sejak dulu telah meluaskan jangkauannya menjadi bukan hanya milik warga Bandung saja, melainkan klub kebanggaan orang Sunda.
Selalu menarik ketika dalam sebuah obrolan ada yang mulai menyinggung tentang Persib. Seketika gairah yang tersembunyi dan malu-malu itu muncul kembali. Senyum merekah spontan terpancar kala memerhatikan orang-orang mengeluarkan opininya mengenai perkembangan tim sepakbola asal Bandung ini.
Berbicara mengenai kiprah Persib di musim kompetisi 2017, dengan keadaan yang sangat di luar ekspektasi kebanyakan orang, seketika bayang-bayang play off di tahun 2003 juga hampir terdegradasinya Persib di tahun 2006 kembali muncul dari sudut pandang penulis. Wajar rasanya bagi siapapun generasi 90-an memiliki ketakutan akan dua kompetisi tersebut. Bukan tanpa alasan, degradasi adalah aib bagi klub manapun di dunia ini, tak terkecuali bagi klub dengan sejarah panjang seperti Persib. Untungnya ketakutan tersebut tidak terjadi. Persib terbantu oleh buruknya permainan tim-tim di zona degradasi yang tak kunjung membaik, hingga pada akhirnya Persib masih bisa bertengger di peringkat 13 dari total 18 peserta. Sebuah posisi yang buruk bagi tim yang di musim sebelumnya menjadi juara bertahan kompetisi tertinggi Indonesia yang statusnya diakui dunia.
Masih tentang musim kompetisi 2017, izinkan penulis untuk beropini dan beranekdot tentang sebuah buku karangan seorang mantan Ketua Komisi Teknik Persib rentang 1955-1964 dengan keadaan Persib belakangan ini.
***
Rahmatullah Ading Affandie atau yang biasa disingkat RAF sempat menulis novel berjudul “Béntang Lapang” pada tahun 1981; beberapa tahun sebelum generasi emas Persib terlahir. Novel bertemakan sepakbola ini menceritakan perjalanan seorang Basri si Béntang Lapang dari sudut pandang seorang pelatih sepakbola yang menjadi tokoh utamanya. Tidak dijelaskan secara rinci siapa nama tokoh utama dalam novel ini, akan tetapi peran Basri di sini sangatlah menonjol. Basri adalah seorang pemain sepakbola yang membela kesebelasan kebanggaan tatar Pasundan. Dia memiliki peran penting menciptakan kekompakan tim di lapangan, juga pengembangan mental pemain muda di dalam tim. Selain itu, dia pun berperan menjadi penyambung lidah antara pelatih dan pemain di lapangan. Seorang yang patuh dan hormat kepada pelatih. Seorang pemain yang pintar membaca situasi. Seorang pemimpin sejati di lapangan.
Banyak pesan yang dapat diambil manfaatnya dari buku karangan RAF ini. Namun penulis hanya akan mengambil beberapa contoh. Sebagai pembuka, RAF menceritakan bahwa sepakbola adalah olahraga yang sangat simpel. Dalam sepakbola tidak melulu soal tim juga tidak melulu soal pemain. Karena baik tim maupun pemain memiliki keterkaitan dan saling membutuhkan. Tim membutuhkan pemain, pemain pun membutuhkan tim. Hal ini dilatarbelakangi karena sepakbola dibangun oleh sebelas pemain yang memiliki kewajiban sama. Sebelas orang yang berkewajiban untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya, dan sebelas orang yang bertugas menjaga gawangnya dari kebobolan. Demikian pesan yang ingin disampaikan RAF mengenai sepakbola. Lalu apa hubungannya dengan Persib?
Dari sepakbola yang simpel, akan menjadi rumit jika setiap elemen di dalamnya hanya mementingkan ego masing-masing. Karena di dalam sepakbola, siapapun pencetak golnya, terlebih tim tersebut dapat menang, tentu saja tim tersebut yang akan mendapat poin penuh. Perlu kesadaran dari para pemain bahwa mereka membela satu tim yang sama, tim yang menyatukan mereka. Baik-buruknya prestasi klub tentu akan menjadi tanggung jawab bersama. Tidak ada pemain manapun yang dapat melebihi kecintaan bobotoh terhadap Persib. Karena bobotoh terlahir untuk mendukung Persib, bukan individunya.
Selanjutnya, RAF juga menulis bagian tentang peran serta bobotoh dalam membangun mental tim. Diawali dari jeleknya penampilan seorang pemain muda bernama Kadir yang ketergantungan akan hadirnya sosok pemimpin di lapangan sekaliber Basri. Kadir yang masih muda mendapat perlakuan buruk dari para bobotoh. Dia dicaci dan diteriaki berbagai macam umpatan dikarenakan permainannya kurang memuaskan. Tokoh utama dalam novel ini di akhir pertandingan memberi wejangan kepada Kadir muda. Dia berujar bahwa sebagai pemain jangan terfokus pada suara penonton. Terserah mereka mau berkata apa, sebab penonton adalah raja. Mereka yang datang tentu membayar. Jadi mereka bebas untuk berpendapat, entah itu memuji, memarahi, atau menonton saja. Untuk membangkitkan kembali semangat Kadir, tokoh utama dalam novel ini memberi satu kasus dari pemain timnas sepakbola Inggris, Stanley Matthews. Matthews yang merupakan pemain pertama di Inggris yang mendapatkan penghargaan Pemain Terbaik Eropa pun pada masa mudanya pernah habis oleh cacian dari para pendukungnya. Namun Matthews muda yang habis dicaci ini, malah di akhir karirnya sempat disebut sebagai pemain sayap kanan terbaik di dunia.
Di era sepakbola modern seperti saat ini, para pemain tentu dituntut untuk lebih profesional. Dari pengilustrasian tokoh utama kepada Kadir, harusnya dapat menjadi pelajaran bagi para pemain Persib agar memiliki mental sekuat Matthews. Kembali pada ungkapan penonton adalah raja, khusus di Persib, raja-raja tersebut sering secara spontan dan tanpa diakomodir mengeluarkan umpatan yang beragam. Bukan tanpa sebab, atas dasar cintalah mereka melakukannya. Karena tidak mungkin ada seorang pembenci yang loyal datang ke stadion dan membeli tiket hanya untuk alasan tak berguna; mencaci tanpa dasar. Bobotoh adalah sekumpulan orang-orang jujur. Jika Persib bermain sesuai ekspektasi mereka, tentu merekapun akan mengelu-ngelukan pujaannya.
Di musim kompetisi 2017, sempat ada pernyataan dari manajemen Persib yang berdalih faktor keberuntungan jarang memihak ke Persib. Entah itu secara permainan ataupun alasan tuah stadion. RAF dalam novelnya sempat berujar bahwa dalam sepakbola modern tidak ada istilah keberuntungan. Dari perumpamaan bola itu bulat, peran latihan yang baik tentu akan membawa hasil yang baik pula. Jadi akui saja jika memang pola latihan dari Persib tidak maksimal, kerjasama yang kurang kompak, hingga faktor kebersamaan yang kurang terbangunlah yang melatarbelakangi buruknya performa Persib di musim ini. Karena sekali lagi, bola itu bulat. Sedangkan hakikat sebuah lingkaran tidak akan pernah bisa memihak ke sudut manapun.
Buku “Béntang Lapang ini, sebenarnya dibuka oleh pengantar dari mantan pemain Persib dan Timnas Indonesia medio 1950-an sampai 1960-an, Aang Witarsa. Pemain yang dijuluki “Si Kuda Terbang” karena kecepatan dan kepiawaiannya mengolah si kulit bulat ini menilai bahwa genre sastra seperti ini menjadi sebuah terobosan baru pada masanya, karena untuk menyampaikan sebuah ilmu tidak melulu melalui sebuah buku teori. Perlu kejelian bagi pembacanya untuk menemukan pesan yang tersirat. Karena atas dasar apapun, cara ini dapat menjadi satu ikhtiar dalam memajukan cabang olahraga sepakbola di Indonesia, khususnya di bumi Pasundan selaku tempat berdiamnya Persib.
***
Sangat disayangkan memang dengan skuat mentereng dan dana melimpah Persib harus terhenti di peringkat 13. Padahal jika dari awal sudah diketahui di mana muaranya, kenapa tidak sekalian menggunakan pemain-pemain dari diklat dan Persib U-19 maupun U-21. Atau bisa juga menarik potensi pemain muda lokal yang tersebar di Indonesia. Atau hal paling simpel memberi kesempatan lebih bagi para pemain muda yang ada di skuat Persib musim kemarin. Minimal menit main mereka dapat bertambah. Jangan remehkan semangat anak muda yang bercita-cita main di Persib, apalagi ada mentor yang siap mengarahkan dan mengembangkan potensi mereka. Bukan tak mungkin generasi emas 1985-1995 akan kembali terlahir. Generasi emas yang bukan hanya bertahan satu-dua tahun saja.
Menarik untuk mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kutipan. “Sing inget, aranjeun salian ti mawa kahormatan regu téh, jeung mawa kahormatan daérah deuih, atawa lamun hayang keuna mah kana haté, mawa kahormatan urang Sunda sagemblengna!” (RAF, 2009:60). Sebuah pesan dari kepala pengurus tim kebanggaan tatar Pasundan sebelum tim melakukan perjalanan menuju putaran final pada masanya yang tertulis dalam novel “Béntang Lapang”.
Teruntuk Roberto Carlos Mario Gomez, peran anda bukan hanya sebatas melatih tim sepakbola. Memang anda pernah membawa tim Johor Darul Takzim FC berjaya di AFC Cup. Tetapi, mampukah anda menjadi legenda di hati para Bobotoh?
***
“Pikeun manusa, taya deui nu leuwih penting, kahormatan. Sagala rupa bisa dijual-beulikeun. Kahormatan mah mustahil bisa dijual-beulikeun.” (RAF, 2009:62). Karena memang, kehormatan itu tidak bisa dibeli. Janji untuk sebuah kehormatan. Hidup Persib!
Jatinangor, 30 November 2017.

 

Dimuat dalam Akar Rumput Zine Vol #2: “Play For The Name On The Front Of The Shirt, And They’ll Remember The Name On The Back” Link: https://drive.google.com/drive/folders/1dcPibqpj-9RAyBhG6IlpXnP0ReGy4kS7

No comments:

Post a Comment