Alangkah
dangkalnya pemahaman penulis mengenai arti dan bagaimana harus memaknai Persib,
terlebih jika membandingkannya dengan orang-orang yang sudah lebih dulu
menggilainya. Persib sebagai klub sepakbola asli Bandung sejak dulu telah
meluaskan jangkauannya menjadi bukan hanya milik warga Bandung saja, melainkan
klub kebanggaan orang Sunda.
Selalu
menarik ketika dalam sebuah obrolan ada yang mulai menyinggung tentang Persib. Seketika
gairah yang tersembunyi dan malu-malu itu muncul kembali. Senyum merekah
spontan terpancar kala memerhatikan orang-orang mengeluarkan opininya mengenai
perkembangan tim sepakbola asal Bandung ini.
Berbicara
mengenai kiprah Persib di musim kompetisi 2017, dengan keadaan yang sangat di
luar ekspektasi kebanyakan orang, seketika bayang-bayang play off
di tahun 2003 juga hampir terdegradasinya Persib di tahun 2006 kembali muncul
dari sudut pandang penulis. Wajar rasanya bagi siapapun generasi 90-an memiliki
ketakutan akan dua kompetisi tersebut. Bukan tanpa alasan, degradasi adalah aib
bagi klub manapun di dunia ini, tak terkecuali bagi klub dengan sejarah panjang
seperti Persib. Untungnya ketakutan tersebut tidak terjadi. Persib terbantu
oleh buruknya permainan tim-tim di zona degradasi yang tak kunjung membaik,
hingga pada akhirnya Persib masih bisa bertengger di peringkat 13 dari total 18
peserta. Sebuah posisi yang buruk bagi tim yang di musim sebelumnya menjadi
juara bertahan kompetisi tertinggi Indonesia yang statusnya diakui dunia.
Masih tentang
musim kompetisi 2017, izinkan penulis untuk beropini dan beranekdot tentang
sebuah buku karangan seorang mantan Ketua Komisi Teknik Persib rentang
1955-1964 dengan keadaan Persib belakangan ini.
***
Rahmatullah
Ading Affandie atau yang biasa disingkat RAF sempat menulis novel berjudul “Béntang
Lapang” pada tahun 1981; beberapa tahun sebelum generasi emas Persib
terlahir. Novel bertemakan sepakbola ini menceritakan perjalanan seorang Basri
si Béntang Lapang dari sudut pandang seorang pelatih sepakbola yang
menjadi tokoh utamanya. Tidak dijelaskan secara rinci siapa nama tokoh utama
dalam novel ini, akan tetapi peran Basri di sini sangatlah menonjol. Basri
adalah seorang pemain sepakbola yang membela kesebelasan kebanggaan tatar
Pasundan. Dia memiliki peran penting menciptakan kekompakan tim di lapangan,
juga pengembangan mental pemain muda di dalam tim. Selain itu, dia pun berperan
menjadi penyambung lidah antara pelatih dan pemain di lapangan. Seorang yang
patuh dan hormat kepada pelatih. Seorang pemain yang pintar membaca situasi.
Seorang pemimpin sejati di lapangan.
Banyak pesan
yang dapat diambil manfaatnya dari buku karangan RAF ini. Namun penulis hanya
akan mengambil beberapa contoh. Sebagai pembuka, RAF menceritakan bahwa
sepakbola adalah olahraga yang sangat simpel. Dalam sepakbola tidak melulu soal
tim juga tidak melulu soal pemain. Karena baik tim maupun pemain memiliki
keterkaitan dan saling membutuhkan. Tim membutuhkan pemain, pemain pun membutuhkan
tim. Hal ini dilatarbelakangi karena sepakbola dibangun oleh sebelas pemain
yang memiliki kewajiban sama. Sebelas orang yang berkewajiban untuk mencetak
gol sebanyak-banyaknya, dan sebelas orang yang bertugas menjaga gawangnya dari
kebobolan. Demikian pesan yang ingin disampaikan RAF mengenai sepakbola. Lalu
apa hubungannya dengan Persib?
Dari
sepakbola yang simpel, akan menjadi rumit jika setiap elemen di dalamnya hanya
mementingkan ego masing-masing. Karena di dalam sepakbola, siapapun pencetak golnya,
terlebih tim tersebut dapat menang, tentu saja tim tersebut yang akan mendapat
poin penuh. Perlu kesadaran dari para pemain bahwa mereka membela satu tim yang
sama, tim yang menyatukan mereka. Baik-buruknya prestasi klub tentu akan
menjadi tanggung jawab bersama. Tidak ada pemain manapun yang dapat melebihi
kecintaan bobotoh terhadap Persib. Karena bobotoh terlahir untuk mendukung
Persib, bukan individunya.
Selanjutnya,
RAF juga menulis bagian tentang peran serta bobotoh dalam membangun mental tim.
Diawali dari jeleknya penampilan seorang pemain muda bernama Kadir yang
ketergantungan akan hadirnya sosok pemimpin di lapangan sekaliber Basri. Kadir
yang masih muda mendapat perlakuan buruk dari para bobotoh. Dia dicaci dan
diteriaki berbagai macam umpatan dikarenakan permainannya kurang memuaskan.
Tokoh utama dalam novel ini di akhir pertandingan memberi wejangan kepada Kadir
muda. Dia berujar bahwa sebagai pemain jangan terfokus pada suara penonton.
Terserah mereka mau berkata apa, sebab penonton adalah raja. Mereka yang datang
tentu membayar. Jadi mereka bebas untuk berpendapat, entah itu memuji,
memarahi, atau menonton saja. Untuk membangkitkan kembali semangat Kadir, tokoh
utama dalam novel ini memberi satu kasus dari pemain timnas sepakbola Inggris, Stanley
Matthews. Matthews yang merupakan pemain pertama di Inggris yang mendapatkan
penghargaan Pemain Terbaik Eropa pun pada masa mudanya pernah habis oleh cacian
dari para pendukungnya. Namun Matthews muda yang habis dicaci ini, malah di
akhir karirnya sempat disebut sebagai pemain sayap kanan terbaik di dunia.
Di era
sepakbola modern seperti saat ini, para pemain tentu dituntut untuk lebih
profesional. Dari pengilustrasian tokoh utama kepada Kadir, harusnya dapat
menjadi pelajaran bagi para pemain Persib agar memiliki mental sekuat Matthews.
Kembali pada ungkapan penonton adalah raja, khusus di Persib, raja-raja
tersebut sering secara spontan dan tanpa diakomodir mengeluarkan umpatan yang
beragam. Bukan tanpa sebab, atas dasar cintalah mereka melakukannya. Karena
tidak mungkin ada seorang pembenci yang loyal datang ke stadion dan membeli
tiket hanya untuk alasan tak berguna; mencaci tanpa dasar. Bobotoh adalah
sekumpulan orang-orang jujur. Jika Persib bermain sesuai ekspektasi mereka,
tentu merekapun akan mengelu-ngelukan pujaannya.
Di musim
kompetisi 2017, sempat ada pernyataan dari manajemen Persib yang berdalih
faktor keberuntungan jarang memihak ke Persib. Entah itu secara permainan
ataupun alasan tuah stadion. RAF dalam novelnya sempat berujar bahwa dalam
sepakbola modern tidak ada istilah keberuntungan. Dari perumpamaan bola itu
bulat, peran latihan yang baik tentu akan membawa hasil yang baik pula. Jadi
akui saja jika memang pola latihan dari Persib tidak maksimal, kerjasama yang
kurang kompak, hingga faktor kebersamaan yang kurang terbangunlah yang
melatarbelakangi buruknya performa Persib di musim ini. Karena sekali lagi,
bola itu bulat. Sedangkan hakikat sebuah lingkaran tidak akan pernah bisa
memihak ke sudut manapun.
Buku “Béntang
Lapang” ini, sebenarnya dibuka oleh pengantar dari mantan pemain
Persib dan Timnas Indonesia medio 1950-an sampai 1960-an, Aang Witarsa. Pemain
yang dijuluki “Si Kuda Terbang” karena kecepatan dan kepiawaiannya mengolah si
kulit bulat ini menilai bahwa genre sastra seperti ini menjadi sebuah terobosan
baru pada masanya, karena untuk menyampaikan sebuah ilmu tidak melulu melalui
sebuah buku teori. Perlu kejelian bagi pembacanya untuk menemukan pesan yang
tersirat. Karena atas dasar apapun, cara ini dapat menjadi satu ikhtiar dalam
memajukan cabang olahraga sepakbola di Indonesia, khususnya di bumi Pasundan
selaku tempat berdiamnya Persib.
***
Sangat
disayangkan memang dengan skuat mentereng dan dana melimpah Persib harus
terhenti di peringkat 13. Padahal jika dari awal sudah diketahui di mana
muaranya, kenapa tidak sekalian menggunakan pemain-pemain dari diklat dan
Persib U-19 maupun U-21. Atau bisa juga menarik potensi pemain muda lokal yang
tersebar di Indonesia. Atau hal paling simpel memberi kesempatan lebih bagi
para pemain muda yang ada di skuat Persib musim kemarin. Minimal menit main
mereka dapat bertambah. Jangan remehkan semangat anak muda yang bercita-cita
main di Persib, apalagi ada mentor yang siap mengarahkan dan mengembangkan
potensi mereka. Bukan tak mungkin generasi emas 1985-1995 akan kembali
terlahir. Generasi emas yang bukan hanya bertahan satu-dua tahun saja.
Menarik untuk
mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kutipan. “Sing inget, aranjeun salian
ti mawa kahormatan regu téh, jeung mawa kahormatan daérah deuih, atawa lamun
hayang keuna mah kana haté, mawa kahormatan urang Sunda sagemblengna!”
(RAF, 2009:60). Sebuah pesan dari kepala pengurus tim kebanggaan tatar Pasundan
sebelum tim melakukan perjalanan menuju putaran final pada masanya yang tertulis
dalam novel “Béntang Lapang”.
Teruntuk
Roberto Carlos Mario Gomez, peran anda bukan hanya sebatas melatih tim
sepakbola. Memang anda pernah membawa tim Johor Darul Takzim FC berjaya di AFC
Cup. Tetapi, mampukah anda menjadi legenda di hati para Bobotoh?
***
“Pikeun
manusa, taya deui nu leuwih penting, kahormatan. Sagala rupa bisa
dijual-beulikeun. Kahormatan mah mustahil bisa dijual-beulikeun.” (RAF,
2009:62). Karena memang, kehormatan itu tidak bisa dibeli. Janji untuk sebuah
kehormatan. Hidup Persib!
Jatinangor, 30
November 2017.
Dimuat dalam Akar Rumput Zine Vol #2: “Play For The Name On The Front Of The Shirt, And They’ll Remember The Name On The Back” Link: https://drive.google.com/drive/folders/1dcPibqpj-9RAyBhG6IlpXnP0ReGy4kS7
No comments:
Post a Comment