8 October 2022

Persib vs. Persija: Menanti Skenario Blitzkrieg Gagal Total di GBLA


Jika dalam Madilog, Tan Malaka menuliskan pengurangan fetisisme terhadap sandang dan makanan demi makmurnya dunia pustaka. Maka yang terjadi di ruang lingkup bobotoh dua Minggu belakangan ini, terlalu jauh dengan yang Tan sampaikan dalam magnum opus-nya tersebut. Terutama tentang perjuangan bobotoh, berburu tiket pertandingan kontra Persija.

Di tengah melambungnya harga BBM dan bahan pokok yang kian mencekik. Belum lagi ancaman resesi ekonomi di beberapa negara. Magnet pertandingan Minggu sore nanti, terlampau istimewa bagi mereka yang rela menyimak layar ponselnya, menjaga koneksi, serta mengisi dompet digitalnya. Tentu saja hal ini berkaitan dengan upaya tak ketinggalan momen langka satu tahun sekali.

Sepak bola mampu menjadi candu bagi penggemarnya. Bahaya laten hal ini, tentu disenangi para kapital sebagai pemilik modal dari klub tercinta. Di tangan mereka harga tiket bisa naik kapan pun mereka mau. Sistem apa pun bisa dikemas sesukanya. Pada akhirnya, sepak bola kian asing. Menjumpainya hanya bisa diakses secara langsung oleh mereka yang berfinansial mapan.

Akan tetapi, momen Minggu sore ini adalah pengecualian. Semua pandangan kabur sesaat. Tak sedikit mereka yang hadir ke stadion, telah melewatkan hasrat jajannya, mengganti merek rokok, hingga bekerja lebih giat demi menjamin ketersediaan bekal hingga pertandingan usai. Baik untuk mereka yang membeli tiket secara online, maupun hasil muntahan lintah berdalih gagal nyetadion.

Bagaimana dengan yang memilih boikot? Kemewahan tertinggi yang dimiliki golongan muda adalah idealisme. Bagi yang memilih boikot karena peristiwa 17 Juni silam, perjuangan kalian tak pernah sia-sia. Perbaikan yang perlahan muncul, mungkin hanya angan jika solidaritas dari kalian semua tak pernah terbentuk. Bertahanlah sekuatnya. Jangan lelah mengharap keadilan ‘kan ditegakkan.

 

Pertandingan Spesial

Banyak yang berubah selepas 90 menit jalannya pertandingan. Perasaan murung yang sedang menyelimuti, seketika berubah menjadi gembira tatkala Persib berhasil menang di akhir laga. Siapa pun boleh bersuka cita. Setiap kemenangan yang Persib raih, usianya tak mentok saat itu saja. Melainkan, terus berulang hingga keesokan harinya. Baik di kantor, sekolah-sekolah, bahkan warung di tepian.

Hal ini turut berlaku pada pertandingan kontra Persija. Laga ini selalu spesial, minimal bagi saya, pun bagi siapa pun yang belum pernah menyaksikan Piala Perserikatan secara langsung. Jujur saja, momen melawan Persija akan selalu menyajikan energi lebih bagi saya. Segala cara dan upaya dikerahkan. Semata-mata agar Persib mampu mempecundangi Persija dari berbagai lini.

                Betapa berwarnanya melihat perkembangan linimasa hampir dua Minggu terakhir. Setiap orang, baik mewakili kubu Persib maupun Persija, bertarung di segala medan. Kedua tim memainkan psikis dan saling menjatuhkan mental lewat sajian audio visual. Sedangkan kedua pendukung kesebelasan, saling membuka arsip, beradu data, serta mengulas kejadian-kejadian kontroversial yang pernah terjadi.

                Salah besar jika menganggap apa yang terjadi dua Minggu ini tak berpengaruh. Sekecil apa pun yang kalian perbuat, hal tersebut akan mencapai puncaknya di hari pertandingan. Hasil yang kalian dapat hari ini, merupakan aktualisasi dari akumulasi kejadian yang ada di masa lampau. Hal ini juga yang membuat pertandingan kontra Persija selama lebih dari 20 tahun ini selalu menarik.

                Namun tetap saja banyak hal yang disayangkan. Umpatan konyol berbau seksisme, pelecehan profesi, hingga rasialisme, adalah hal yang mestinya dienyahkan oleh pihak mana pun. Jika kita membiarkan kebiasaan tersebut berlangsung, secara tak langsung kita membiarkan generasi penerus mempertahankan kebodohan, dan menganggap aktualisasi buruk tempo ini adalah benar.

                Jika di masa lampau Tan Malaka pernah menjadikan sepak bola sebagai alat perjuangan dalam merebut kemerdekaan. Maka kebencian-kebencian di level tertinggi, katakanlah membunuh manusia, adalah hal yang mesti dijadikan dosa terbesar dari pertandingan sepak bola. Semoga semua tetap dalam koridor yang wajar, saling mengingatkan, dan berkepala dingin dalam situasi panas sekali pun.

 

Berawal dari Adu Gengsi

                Rivalitas antara Persib dan Persija, tak mungkin berawal dari masalah tiket semata. Oleh karenanya, saya meminjam sebuah pendekatan yang biasa dipakai oleh Karl Marx, yakni materialisme dialektika dan historis. Ketika menggunakan pendekatan ini, niscaya kita tak akan menganggap segala hal yang terjadi di dunia ini mengalir begitu saja. Melainkan dapat dibuktikan secara nyata dan faktual.

                Akumulasi kebencian yang membuat banyak korban berjatuhan ini, jika ditelisik lebih jauh, bermula lebih dari 20 tahun yang lalu. Mendekati akhir 90’an, Persib banyak ditinggal oleh generasi emasnya. Alhasil prestasi dan kegemilangan Persib di era 80’an hingga pertengahan 90’an mulai sulit disamai oleh generasi penerus.

                Di tempat lain, sejak tahun 1997, DKI Jakarta mulai dipimpin oleh gubernur baru bernama Sutiyoso. Di tangan Bang Yos, Persija banyak mendapat gelontoran dana fantastis dibandingkan klub-klub lainnya di Indonesia. Selain itu, di tahun saat Bang Yos menjadi gubernur, bersamaan pula dengan lahirnya Jakmania beserta re-branding Persija dari identitas merah ke oranye.

                Hanya perlu empat tahun, sejak Bang Yos memimpin DKI Jakarta, Persija berhasil menjadi kampiun Liga Indonesia. Bagaimana dengan Persib? Di tahun yang sama sebenarnya pencapaian Persib tak buruk-buruk amat. Persib dan Persija sama-sama melaju ke babak delapan besar. Hanya saja, langkah Persib terhenti di fase gugur dan gagal melaju ke semifinal.

                Lantas apa kaitannya rivalitas yang ada dengan kejadian-kejadian tersebut? Yang pasti, dari kejadian tersebut bisa dikatakan pendukung Persija perlahan meningkat, ditambah dengan dukungan dana fantastis, membuat mereka mampu terus-menerus membeli amunisi dengan nama mentereng. Sedangkan Persib, tahu sendiri di musim 2003 dan 2006 hampir menemui tahun sialnya.

                Kisah yang berkembang terkait akar rivalitas bermula dari tiket tentu benar. Namun hal tersebut hanya permulaan dari rangkaian proses panjang yang membersamai bumbu rivalitas hingga saat ini. Di sinilah konsep dari dialektika berguna. Kita bisa melihat sintesis baru dari kejadian-kejadian tersebut, berupa Jakmania dan Persija muncul sebagai rival baru dari Persib, dan VikingPersib Club.

 

Adu Juru Taktik

Dilihat dari komposisi pemain dan juru racik kedua kesebelasan, sangat wajar jika pertandingan ini banyak dinantikan, bahkan oleh orang di luar pendukung kedua kesebelasan. Perbedaan signifikan dari internal skuat dua kesebelasan adalah waktu membersamai pelatih dengan tim yang dipimpin. Thomas Doll sejak pramusim, sedangkan Luis Milla masuk setelah musim berjalan.

Di pihak lawan, mungkin mereka optimis ketika melihat tabel klasemen. Namun jangan ke sampingkan statistik Persib yang berhasil sapu bersih tiga laga yang dimainkannya. Inilah yang bakal membuat pertandingan semakin menarik. Ditambah baik Milla dan Doll, keduanya hidup di era yang sama sebagai pemain, dan keduanya terlahir di tahun yang sama pula.

Kubu lawan baru saja melakukan serangan psikis. Doll berujar di kanal GOAL Indonesia jika dirinya berpengalaman dalam banyak pertandingan derbi. Baik itu sebagai pelatih di HSV dan BVB, maupun ketika bermain di Lazio. Namun sepertinya ada cacat pemahaman dari Doll terkait derbi yang dimaksud. Apakah benar dirinya menganggap pertemuan dua tim beda kota ini sebagai derbi?

Jika saya adalah Luis Milla, tentu saya akan tertawa dengan celotehan konyol dari Doll. Milla yang pernah bermain untuk dua klub papan atas Eropa, representasi kerajaan kontra wilayah otonom yang ingin referendum, mungkin hanya bisa tersenyum ketika mengulang-ngulang tayangan wawancara Doll bersama GOAL Indonesia yang tayang dua hari lalu.

Bermain di Camp Nou selama enam musim, sebelum berpindah ke kandang rivalnya, Santiago Bernabéu, merupakan pengalaman yang tak dimiliki banyak pemain. Milla pernah bermain peran di Barcelona dan Real Madrid sekaligus. Untuk kasus ini, rasanya tak perlu lagi kita mengajarkan kepada Milla harus berbuat apa. Mari tuntaskan pertandingan Minggu sore dengan mudah, señor!

 

Rizki Sanjaya, seorang manusia yang mengagungkan Persib setelah Allah juga Muhammad. Bisa ditemui di semua akun bernama @rizkimasbox.

Dimuat di: https://simamaung.com/menanti-skenario-blitzkrieg-gagal-total-di-gbla/

No comments:

Post a Comment