13 May 2020

@historyofpersib: Milangkala 87 Tahun Persib Bandung

Kecintaan Tanpa Pamrih Ini Hanya Sebuah Angka
Rizki Sanjaya

(Sampul: @historyofpersib - Milangkala 87 Tahun Persib Bandung)

Mencintai adalah hak bagi seluruh makhluk yang masih hidup. Setiap makhluk yang bernyawa tentu berhak untuk mencintai dan menyatakan ikrar cintanya. Baik secara tersurat maupun tersirat. Selama nafas dan pikirannya masih tetap terjaga.
Mencintai adalah cara menaruh kasih sayang. Sedang objek yang dicintai, tentu tak berbatas pada makhluk yang hidup saja. Semua hal tentu dapat kita cintai, sifatnya tak berbatas ruang dan waktu, menembus dinding dimensi tempat di mana kita hidup saat ini.
Tentu sah saja jika kita tetap mencintai orang yang telah mati, baik yang pernah kita kenal bahkan tidak. Lebih absurd lagi, bukan hanya yang pernah kita ketahui wujudnya, mencintai sesuatu yang masih dalam benak dan khayal sekalipun, tak ada larangan dan batasan hukum yang mengikatnya.
Sebagai sebuah klub sepakbola, Persib telah jauh melampaui bab tentang cinta. Sebuah cinta yang tak bisa dimiliki oleh seseorang saja. Semakin banyak yang mencintai, semakin tenang hati ini. Karena cinta ini memang tercipta untuk dimiliki bersama. Cinta yang dimiliki oleh rakyat sebagai simbol dan alat juang.
Persib yang melegitimasikan dirinya berdiri pada 14 Maret 1933, hanyalah tim sepakbola yang dilahirkan di tempat dengan jumlah populasi manusia yang masih sedikit saja pada waktu itu. Hal ini lebih dikarenakan, Kota Bandung pada masa lalu hanyalah sebuah telaga yang dikelilingi oleh pegunungan yang lama kelamaan volume airnya berkurang dan mengering.
Sebuah buku berjudul Gementee Bandoeng yang terbit pada masa pemerintahan kolonial Belanda memuat sebuah data sensus penduduk di masa pemerintahannya pada tahun 1919. Dijelaskan dalam sebuah tabel bahwa pada tahun 1919 Kota Bandung hanya didiami oleh 7900 orang saja, itu pun Europeanen, tidak diceritakan tentang orang lokal pada saat itu. Loncat ke tahun 1931, di mana adalah tahun yang paling dekat dengan tanggal didirikannya Persib, per 1 Januari 1931 dijelaskan ada peningkatan signifikan terkait orang-orang yang mendiami Kota Bandung, pada tahun ini sudah ada orang-orang yang dikategorikan pribumi oleh pemerintahan kolonial pada saat itu, berikut jumlah populasinya: 19.327 bangsa Europeanen, 16.690 bangsa Chineezen, dan 129.871 Inlanders (sebutan olok-olok kolonial terhadap orang lokal).
Melihat dari data di atas, tentunya ada peningkatan yang sangat signifikan terhadap populasi penduduk di Kota Bandung pada masa kini. Menurut data yang dihimpun dari Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011, Kota Bandung didiami oleh 2.536.649 orang, bahkan jika dihitung dengan kategori Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi) jumlahnya menginjak 8.670.501 penduduk. Sebuah jumlah yang fantastis untuk gambaran kasar besarnya potensi dari wilayah Bandung Raya ini.
Namun semua data tersebut hanyalah angka. Tentu cinta tak melulu soal matematika. Bahkan harusnya ilmu tentang bilangan itu kita kesampingkan saja dalam praktik cinta. Akan menjadi pamrih tentunya jika kita berbicara matematika terhadap cinta. Namun lain dulu, lain sekarang. Begitu pun bentuk dan penilaian cinta kita terhadap Persib, sekarang semuanya serba matematika.
Dasarnya tentu saja karena Persib kini sudah tidak dibiayai lagi oleh anggaran pendapatan daerah. Persib yang kini pengelolaannya di bawah PT. Persib Bandung Bermartabat –selanjutnya PT. PBB– telah menobatkan dirinya menjadi sebuah perusahaan yang mandiri dalam pembiayaan. Hal ini tentu saja membuat Persib harus terus berpikir maju ke depan, karena diam sebentar saja tentu akan membuat namanya tenggelam di pasaran.
Beruntung sekali Persib dilahirkan di Kota Bandung, kota yang menjadi ibu kota provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia. Selain kelebihan itu, lagi-lagi Persib beruntung lahir di Provinsi Jawa Barat, di mana hanya ada satu klub yang sangat dominan berdiri tegak selama 76 tahun lamanya pada saat PT. PBB resmi berdiri. Belum lagi aspek kegemilangan prestasi Persib di era sebelum 2009, 5 kali menjadi yang terbaik dalam gelaran Piala Perserikatan dan 1 kali menjadi kampiun di Liga Indonesia adalah prestasi yang hanya sedikit sekali klub bisa menyamainya.
Lagi-lagi keberuntungan membayangi PT. PBB sebagai pemilik sah klub Persib, selain ditunjang aspek historis, Persib pun memiliki aset yang tentunya adalah berkah dan karunia terhadap Persib itu sendiri. Sulit untuk menakar sejauh mana kecintaan rerata bobotoh Persib terhadap klub yang dicintainya. Jangankan untuk membuat rataannya, bahkan tidak ada sumber terpercaya berisi sensus yang bisa memuat jumlah bobotoh Persib secara menyeluruh. Sebagai gambaran, coba sedikit bayangkan, ketika jutaan orang memiliki beragam cara dalam penyampaian rasa cintanya. Ketika berbicara sumber data, cukup lemparkan saja hasil sensus penduduk terbaru, bandingkan juga dengan rata-rata rating ketika Persib siaran langsung di televisi. Kiranya dari hasil mentah tersebut bisa memberi gambaran jika jumlah bobotoh Persib itu memang benar ada di angka jutaan.
Tak sedikit dari jutaan bobotoh Persib tersebut mengambil sisi paling ekstrem dalam hidup, yakni ikrar Persib sampai mati. Sebuah pakem yang paling diyakini dan dijunjung tinggi oleh orang-orang yang terlalu mencintainya. Satu ikrar yang akan menemani hidup mereka selama puluhan tahun bahkan hingga senja di akhir usia nampak. Namun meski ikrarnya sama, pada hakikatnya ikrar tersebut tak bisa diseragamkan bobot takarannya. Semakin orang tersebut bertahan, akan semakin terlihat jelas konsistensi dan kecintaan mereka terhadap Persib. Sebuah pengorbanan panjang yang melibatkan keteguhan hati.
Kecintaan terhadap Persib tentu bukan hanya buah bibir semata. Di usia yang kini menginjak 87 tahun, rasanya Persib hampir mencapai semua tujuan dan harapannya. Karena acuan sebuah klub sepakbola hanya berbatas pada kecintaan dan prestasi yang diraihnya. Bahkan prestasi saya rasa hanya nomor kesekian, karena sudah berapa kali Persib mengulang puasa gelarnya yang berlangsung bertahun-tahun, namun kecintaan bobotoh pada benda mati ini tak pernah ada kedaluwarsanya.
Angka 87 tahun bukanlah waktu sebentar bagi sebuah klub sepakbola. Tak sedikit kita mendengar sebuah klub sepakbola bubar, bahkan dibubarkan. Alasannya entah karena masalah finansial, penjajahan, perang, bahkan diberangus rezim. Tapi Persib selalu bisa bangkit bahkan memaknai zaman. Nyatanya Persib terus eksis dan kokoh melintasi bias kepemimpinan, bias peristiwa, dan bias kepentingan.
Tak adil jika hanya menyebut keberuntungan dan poin plus yang didapat PT. PBB ketika pertama mengakuisisi kepemilikan dari Persib. Tentu ada keringat dan kerja keras yang tidak sedikit dari para pemilik saham Persib saat ini. Tapi bukankah pada akhirnya semua keuntungan yang didapat adalah untuk kalian dan PT. PBB juga?
Sedikit merawat sejarah, tak bisa dipungkiri bahwa sejak berdirinya Persib hingga satu tahun sebelum berdirinya PT. PBB, Persib terlahir dan berjalan sebagai klub rakyat. Lebih-kurang selama 76 tahun, atau sejak tahun 1933 hingga 2009 rasa memiliki terhadap Persib sangatlah maksimal dirasakan oleh bobotoh. Hal ini menjadi jelas karena Persib di era Perserikatan hingga era Ligina memang dibiayai oleh rakyat. Maka bobotoh pada masa itu tak sedikit pun canggung untuk mengkritik jika dirasa ada hal yang tak wajar. Dan Pemkot Bandung, sebagai yang berperan dalam kepengurusan Persib tentunya memiliki tanggung jawab moril ketika tak mau mendengar kritik dari para pemilik Persib yang sesungguhnya.
Berbanding terbalik dengan saat ini, yang mana Persib dimiliki hanya oleh sebagian orang saja. Bahkan perencanaan, strategi, dan keuntungan yang didapatkannya kini apa boleh buat bobotoh memang tak boleh tahu, karena kita memang bukan siapa-siapa dalam ruang lingkup Persib saat ini. Padahal dulunya, Persib yang coba disisihkan oleh pemerintahan kolonial Belanda karena dianggap berbahaya dan dapat menimbulkan kerumunan Inlanders berkumpul, suaranya sempat coba dipecah dengan sebuah klub tandingan elit bangsawan bernama VBBO. Persib yang sengaja dibuang ke lapangan pinggiran, nyatanya malah membuat dukungan terhadap Persib semakin masif karena basis warga non Europeanen memang banyak tinggal di pinggiran Kota Bandung saat itu.
Tapi sejarah hanyalah sejarah, kita hanya bisa merawatnya dalam ingatan, juga memaknainya dalam tindakan. Boleh saja Persib sekarang pengelolaannya dikelola oleh swasta, yang mana masyarakat memang tidak dilibatkan secara langsung dalam pembiayaan. Namun jangan juga hanya karena Persib pengelolaannya sudah dipegang oleh sebagian orang, dengan mudah juga mereka seenaknya melepas dan membiaskan sedikit demi sedikit sejarah yang terlampau mengakar di dalam benak dan ingatan orang-orang yang mencintainya.
Jangan tanya apa kontribusi dan bentuk kecintaan bobotoh terhadap Persib saat ini. Selama bobotoh masih dipakai untuk daya tawar dan dicantumkan jumlah rataannya di dalam setiap pengajuan proposal ke sponsor, sejauh itu pula kita sebagai bobotoh harus tetap merasa berperan serta memberi andil terhadap hidup dan eksisnya Persib dan PT. PBB sejauh ini.
Sungguh berbicara matematika terhadap hal yang kita cintai begitu beratnya. Tapi jika praktik hitung-hitungan angka coba ditumbuhkan di era sekarang. Maka jawaban paling logisnya adalah “Kurang-kurangi takaran mendukung Persib. Mulai kesampingkan kemilitanan terkait dukung Persib sampai mati. Perjuangkan kuliah kalian, kerja kalian, keluarga kalian. Persib tak akan menolong kalian!” Tapi percayalah, bobotoh tak sejahat itu. Karena kecintaan bobotoh terhadap Persib tak pernah mengenal istilah pamrih.
Bandung, 12 Maret 2020


No comments:

Post a Comment