Kecintaan Tanpa Pamrih Ini Hanya Sebuah Angka
Rizki Sanjaya
(Sampul: @historyofpersib - Milangkala 87 Tahun Persib Bandung)
Mencintai adalah hak bagi seluruh makhluk
yang masih hidup. Setiap makhluk yang bernyawa tentu berhak untuk mencintai dan
menyatakan ikrar cintanya. Baik secara tersurat maupun tersirat. Selama nafas
dan pikirannya masih tetap terjaga.
Mencintai adalah cara menaruh kasih
sayang. Sedang objek yang dicintai, tentu tak berbatas pada makhluk yang hidup
saja. Semua hal tentu dapat kita cintai, sifatnya tak berbatas ruang dan waktu,
menembus dinding dimensi tempat di mana kita hidup saat ini.
Tentu sah saja jika kita tetap mencintai orang yang telah
mati, baik yang pernah kita kenal bahkan tidak. Lebih absurd lagi, bukan hanya
yang pernah kita ketahui wujudnya, mencintai sesuatu yang masih dalam benak dan
khayal sekalipun, tak ada larangan dan batasan hukum yang mengikatnya.
Sebagai sebuah klub sepakbola, Persib telah
jauh melampaui bab tentang cinta. Sebuah cinta yang tak bisa dimiliki oleh
seseorang saja. Semakin banyak yang mencintai, semakin tenang hati ini. Karena cinta
ini memang tercipta untuk dimiliki bersama. Cinta yang dimiliki oleh rakyat sebagai
simbol dan alat juang.
Persib yang melegitimasikan dirinya berdiri
pada 14 Maret 1933, hanyalah tim sepakbola yang dilahirkan di tempat dengan jumlah
populasi manusia yang masih sedikit saja
pada waktu itu. Hal ini lebih dikarenakan, Kota Bandung pada masa lalu hanyalah sebuah
telaga yang dikelilingi oleh pegunungan yang lama kelamaan volume airnya
berkurang dan mengering.
Sebuah buku berjudul Gementee Bandoeng yang terbit pada masa
pemerintahan kolonial Belanda memuat sebuah data sensus penduduk di masa pemerintahannya pada tahun 1919. Dijelaskan dalam sebuah tabel bahwa pada tahun 1919 Kota Bandung
hanya didiami oleh 7900 orang saja, itu pun Europeanen, tidak
diceritakan tentang orang lokal pada saat itu. Loncat ke tahun 1931, di mana
adalah tahun yang paling dekat dengan tanggal didirikannya Persib, per 1
Januari 1931 dijelaskan ada peningkatan signifikan terkait orang-orang yang
mendiami Kota Bandung, pada tahun ini sudah ada orang-orang yang dikategorikan
pribumi oleh pemerintahan kolonial pada saat itu, berikut
jumlah populasinya: 19.327 bangsa Europeanen, 16.690 bangsa Chineezen, dan 129.871 Inlanders
(sebutan olok-olok kolonial terhadap orang lokal).
Melihat
dari data di atas, tentunya ada peningkatan yang sangat signifikan terhadap
populasi penduduk di Kota Bandung pada masa kini. Menurut data yang dihimpun
dari Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011, Kota Bandung didiami oleh
2.536.649 orang, bahkan jika dihitung dengan kategori Bandung Raya (Kota
Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi) jumlahnya
menginjak 8.670.501 penduduk. Sebuah jumlah yang fantastis untuk gambaran kasar
besarnya potensi dari wilayah Bandung Raya ini.
Namun semua data tersebut hanyalah
angka. Tentu
cinta tak melulu soal matematika. Bahkan harusnya ilmu tentang bilangan itu kita
kesampingkan saja dalam praktik cinta. Akan menjadi
pamrih tentunya jika kita berbicara matematika terhadap cinta. Namun lain dulu,
lain sekarang. Begitu pun bentuk dan penilaian cinta kita terhadap Persib, sekarang semuanya serba matematika.
Dasarnya tentu saja karena Persib kini
sudah tidak dibiayai lagi oleh anggaran pendapatan daerah. Persib yang kini
pengelolaannya di bawah PT. Persib Bandung Bermartabat –selanjutnya PT. PBB– telah
menobatkan dirinya menjadi sebuah perusahaan yang mandiri dalam pembiayaan. Hal
ini tentu saja membuat Persib harus terus berpikir maju ke depan, karena diam
sebentar saja tentu akan membuat namanya tenggelam di pasaran.
Beruntung sekali Persib dilahirkan di
Kota Bandung, kota yang menjadi ibu kota provinsi dengan populasi terbesar di
Indonesia. Selain kelebihan itu, lagi-lagi Persib beruntung lahir di Provinsi
Jawa Barat, di mana hanya ada satu klub yang sangat dominan berdiri tegak
selama 76 tahun lamanya pada saat PT. PBB resmi berdiri. Belum lagi aspek
kegemilangan prestasi Persib di era sebelum 2009, 5 kali menjadi yang terbaik
dalam gelaran Piala Perserikatan dan 1 kali menjadi kampiun di Liga Indonesia adalah
prestasi yang hanya sedikit sekali klub bisa menyamainya.
Lagi-lagi keberuntungan membayangi PT.
PBB sebagai pemilik sah klub Persib, selain ditunjang aspek historis, Persib
pun memiliki aset yang tentunya adalah berkah dan karunia terhadap Persib itu
sendiri. Sulit untuk menakar sejauh mana kecintaan rerata bobotoh Persib
terhadap klub yang dicintainya. Jangankan untuk membuat rataannya, bahkan tidak
ada sumber terpercaya berisi sensus yang bisa memuat jumlah bobotoh Persib
secara menyeluruh. Sebagai gambaran, coba sedikit bayangkan, ketika jutaan
orang memiliki beragam cara dalam penyampaian rasa cintanya. Ketika berbicara
sumber data, cukup lemparkan saja hasil sensus penduduk terbaru, bandingkan
juga dengan rata-rata rating ketika
Persib siaran langsung di televisi. Kiranya dari hasil mentah tersebut bisa
memberi gambaran jika jumlah bobotoh Persib itu memang benar ada di angka
jutaan.
Tak sedikit dari jutaan bobotoh Persib
tersebut mengambil sisi paling ekstrem dalam hidup, yakni ikrar Persib sampai
mati. Sebuah pakem yang paling diyakini dan dijunjung tinggi oleh orang-orang yang
terlalu mencintainya. Satu ikrar yang akan menemani hidup mereka selama puluhan
tahun bahkan hingga senja di akhir usia nampak. Namun meski ikrarnya sama, pada
hakikatnya ikrar tersebut tak bisa diseragamkan bobot takarannya. Semakin orang
tersebut bertahan, akan semakin terlihat jelas konsistensi dan kecintaan mereka
terhadap Persib. Sebuah pengorbanan panjang yang melibatkan keteguhan hati.
Kecintaan terhadap Persib tentu bukan
hanya buah bibir semata. Di usia yang kini menginjak 87 tahun, rasanya Persib hampir
mencapai semua tujuan dan harapannya. Karena acuan sebuah klub sepakbola hanya
berbatas pada kecintaan dan prestasi yang diraihnya. Bahkan prestasi saya rasa
hanya nomor kesekian, karena sudah berapa kali Persib mengulang puasa gelarnya
yang berlangsung bertahun-tahun, namun kecintaan bobotoh pada benda mati ini
tak pernah ada kedaluwarsanya.
Angka 87 tahun bukanlah waktu sebentar
bagi sebuah klub sepakbola. Tak sedikit kita mendengar sebuah klub sepakbola
bubar, bahkan dibubarkan. Alasannya entah karena masalah finansial, penjajahan,
perang, bahkan diberangus rezim. Tapi Persib selalu bisa bangkit bahkan
memaknai zaman. Nyatanya Persib terus eksis dan kokoh melintasi bias
kepemimpinan, bias peristiwa, dan bias kepentingan.
Tak adil jika hanya menyebut
keberuntungan dan poin plus yang didapat PT. PBB ketika pertama mengakuisisi
kepemilikan dari Persib. Tentu ada keringat dan kerja keras yang tidak sedikit
dari para pemilik saham Persib saat ini. Tapi bukankah pada akhirnya semua
keuntungan yang didapat adalah untuk kalian dan PT. PBB juga?
Sedikit merawat sejarah, tak bisa
dipungkiri bahwa sejak berdirinya Persib hingga satu tahun sebelum berdirinya
PT. PBB, Persib terlahir dan berjalan sebagai klub rakyat. Lebih-kurang selama
76 tahun, atau sejak tahun 1933 hingga 2009 rasa memiliki terhadap Persib
sangatlah maksimal dirasakan oleh bobotoh. Hal ini menjadi jelas karena Persib
di era Perserikatan hingga era Ligina memang dibiayai oleh rakyat. Maka bobotoh
pada masa itu tak sedikit pun canggung untuk mengkritik jika dirasa ada hal yang
tak wajar. Dan Pemkot Bandung, sebagai yang berperan dalam kepengurusan Persib
tentunya memiliki tanggung jawab moril ketika tak mau mendengar kritik dari para
pemilik Persib yang sesungguhnya.
Berbanding terbalik dengan saat ini,
yang mana Persib dimiliki hanya oleh sebagian orang saja. Bahkan perencanaan,
strategi, dan keuntungan yang didapatkannya kini apa boleh buat bobotoh memang
tak boleh tahu, karena kita memang bukan siapa-siapa dalam ruang lingkup Persib
saat ini. Padahal dulunya, Persib yang coba disisihkan oleh pemerintahan
kolonial Belanda karena dianggap berbahaya dan dapat menimbulkan kerumunan Inlanders berkumpul, suaranya sempat
coba dipecah dengan sebuah klub tandingan elit bangsawan bernama VBBO. Persib
yang sengaja dibuang ke lapangan pinggiran, nyatanya malah membuat dukungan
terhadap Persib semakin masif karena basis warga non Europeanen memang banyak tinggal di pinggiran Kota Bandung
saat itu.
Tapi sejarah hanyalah sejarah, kita
hanya bisa merawatnya dalam ingatan, juga memaknainya dalam tindakan. Boleh saja
Persib sekarang pengelolaannya dikelola oleh swasta, yang mana masyarakat
memang tidak dilibatkan secara langsung dalam pembiayaan. Namun jangan juga
hanya karena Persib pengelolaannya sudah dipegang oleh sebagian orang, dengan
mudah juga mereka seenaknya melepas dan membiaskan sedikit demi sedikit sejarah
yang terlampau mengakar di dalam benak dan ingatan orang-orang yang
mencintainya.
Jangan tanya apa kontribusi dan bentuk
kecintaan bobotoh terhadap Persib saat ini. Selama bobotoh masih dipakai untuk
daya tawar dan dicantumkan jumlah rataannya di dalam setiap pengajuan proposal
ke sponsor, sejauh itu pula kita sebagai bobotoh harus tetap merasa berperan
serta memberi andil terhadap hidup dan eksisnya Persib dan PT. PBB sejauh ini.
Sungguh berbicara matematika terhadap
hal yang kita cintai begitu beratnya. Tapi jika praktik hitung-hitungan angka coba
ditumbuhkan di era sekarang. Maka jawaban paling logisnya adalah “Kurang-kurangi
takaran mendukung Persib. Mulai kesampingkan kemilitanan terkait dukung Persib
sampai mati. Perjuangkan kuliah kalian, kerja kalian, keluarga kalian. Persib
tak akan menolong kalian!” Tapi percayalah, bobotoh tak sejahat itu. Karena
kecintaan bobotoh terhadap Persib tak pernah mengenal istilah pamrih.
Bandung, 12 Maret 2020
No comments:
Post a Comment