Kebetulan siang hari itu Kota
Bandung sedang dingin-dinginnya. Selain karena cuaca sehari-harinya yang panas.
Saat itu juga langit Bandung sedang mendung ditemani hujan yang turun
cukup deras. Dengan menaiki kuda pacu, dalam perjalanan menuju salahsatu jalan
protokol di Kota Bandung, ada banyak pemandangan yang jarang terlihat
sebelumnya. Hal yang sangat jarang bahkan aneh jika pemandangan ini harus
dibandingkan dengan masa kecil penulis. Dan jika itu terlalu jauh, bisa
dibandingkan pada saat penulis masih mencari ilmu di tingkat Sekolah Menengah
Atas beberapa tahun yang lalu.
Kota
Bandung merupakan sebuah bagian dari Negara Kesatuan Repubik Indonesia
sekaligus mempunyai jabatan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Selain
menjadi ibu kota di Provinsi yang menurut sensus penduduk terakhir memiliki
jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Saat ini, Kota Bandung dikenal juga
sebagai kota yang memiliki banyak gedung-gedung tinggi, juga sebagai salahsatu
tempat belanja kelas atas bagi sebagian masyarakat Indonesia, tak terkecuali
turis asing.
Dalam
peribahasa Indonesia dijelaskan bahwa “tamu adalah raja”. Maka sebagai
kelanjutannya, di sini penulis akan membahas sisi baik, ramah-tamah ---dalam
bahasa Sunda disebut soméah--- yang Kota Bandung tawarkan terhadap
para tamunya; tanpa pandang bulu. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara yang
(tidak) tahu aturan.
Melihat
fenomena semakin banyaknya gedung-gedung tinggi di Kota Bandung, penulis rasa
bukan menjadi sebuah kebutuhan primer bagi warga Bandung pada umumnya. Semakin
banyaknya gedung-gedung tinggi dan mewah di Kota ini tentu hanya menjadi
keuntungan bagi beberapa pihak. Lagi-lagi wisatawan dalam negeri dan
mancanegara yang menjadi target. Tentu benar jika peribahasa “tamu adalah raja”
sangat terbukti di Kota Bandung. Tamu-tamu yang datang disuguhi dengan
fasilitas hotel-hotel berbintang yang baru dibangun, factory outlet,
juga pusat perbelanjaan dengan kategori supermall.
Peran
pemerintahan Kota Bandung dalam hal ini sangat dipertanyakan. Terlepas
keputusan-keputusan tersebut diambil dari pemerintahan sebelumnya atau bukan.
Yang masyarakat lihat, pembangunan dan perizinan tersebut ada di periode
pemerintahan Bandung saat ini.
***
Dalam
beberapa kesempatan, peran Kota Bandung mensejahterakan tamunya patut diacungi
jempol. Berpindah pada perilaku di jalanan, tidak jarang penulis melihat
perilaku para tamu yang mengemudi tanpa mau mengalah. Budaya seperti ini tentu
kurang cocok jika harus dipakai di Bandung. Karena tanpa demikian pun, orang
Sunda pada umumnya akan bersifat ramah dan cenderung ”mangga ti payun”
tanpa diperintah oleh siapapun. Penulis memiliki kekhawatiran yang cukup besar,
karena budaya seperti itu jika diulang secara terus-menerus akan menjadi sebuah
pembenaran bagi warga asli yang melihatnya. Karena akan ada rasa bahwa mereka
bukan pelanggar yang pertama. Lihat saja perilaku seperti menghentikan
kendaraan di zebra cross ketika lampu dalam keadaan merah,
atau menaikkan motor ke atas trotoar, yang anak Sekolah Dasar sekalipun tahu
apa fungsi dari simbol lalu lintas tersebut. Perilaku tidak sabar seperti itu
lagi-lagi tidak pantas jika dilakukan di Kota Bandung, mengingat suhu di sini
tidak sepanas suhu mayoritas kendaraan berplat ibu kota negara Indonesia.
Di hari yang sama, penulis tanpa sengaja mendapati perilaku kurang
pantas dari tamu berplat bukan Bandung yang mayoritasnya sering datang
ketika akhir pekan ke kota ini. Dari dalam mobil, pengemudi dengan
sengaja membuang gelas bekas kopi tepat ke tengah jalan di Simpang Lima Jalan
Sunda. Ironis memang, dan tidak ada unsur mengada-ngada. Logikanya jika warga
Bandung saja mendapat himbauan dari Walikota agar tidak melanggar aturan lalu
lintas, lantas apa karena para wisatawan itu telah berbelanja di tempat-tempat
berkelas dan menyumbang pajak sebesar 10% yang menambah devisa itu
diperbolehkan untuk melanggar? Atau karena sekedar selfie dan
berfoto ria dengan caption “Bandung soméah hadé ka sémah,
euy” menjadi sebuah pembenaran bagi mereka untuk ikut melanggar lalu
lintas, juga membuang sampah sembarangan?
***
Masih
terkait judul utama. Merambah ke sektor lain. Semakin menjamurnya minimarket di
Kota Bandung sepertinya tidak lepas dari andil pemerintah daerah juga. Warung
dan toko-toko pribumi dengan modal seadanya, jika diharuskan bersebelahan dengan minimarket di
kiri dan di kanan, tentu menjadi sebuah persaingan antara pemuncak klasemen
dengan penghuni juru kunci jika perlu mengambil contoh aturan peringkat dalam
sepakbola.
Persaingan-persaingan
seperti ini menurut pengamatan penulis tidak masuk akal. Karena dengan jarak
kurang dari 1 km pada kenyataannya terdapat beberapa minimarketdengan
nama yang sama. Logikanya, sangat sulit bagi warung dan toko yang
mengandalkan pembeli satuan, dengan sistem pembelian di minimarket yang
borongan ---bahkan ada juga yang membeli satuan---, bukan tidak mungkin membuat
warung dan toko kecil milik pengusaha ekonomi menengah itu terpaksa harus tutup
di tengah jalan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk bertahan. Penulis
rasa pada bagian ini dibutuhkan alasan yang jelas dari pihak pemerintah daerah
terkait kebijakan pemberian izin terhadap menjamurnya minimarket. Iri
jika harus berkaca pada daerah lain di Sumatera Barat sana yang dengan tegas
melarang hadirnya minimarket.
Jika
terus banyak keputusan yang tidak memihak pada warga Kota Bandung, dan dengan
terus melemahnya kesejahteraan para warga aslinya. Bukan tidak mungkin akan ada
perpindahan penduduk dari Kota menuju Kabupaten yang menandakan pemilik rumah
dikalahkan oleh tamunya.
***
“Bandung
soméah teuing ka sémah” ceuk kuring.
Rizki
Sanjaya, Sastra Sunda Unpad
Bandung,
12 Désémber 2015.
No comments:
Post a Comment