Dalam sebuah novel sering kita jumpai dominasi-dominasi
yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Tak jarang ditemukan bagian
di mana pihak yang dikuasai harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh yang
memiliki kuasa. Kebiasaan-kebiasaan dari tokoh di dalamnya pun cenderung
berbeda dan mempunyai keunikannya masing-masing.
Novel bukan berasal dari bahasa Indonesia maupun
bahasa Sunda. Tetapi berasal dari bahasa asing. Seperti dikemukakan oleh
Tarigan “Kata novel berasal dari kata Latin ‘novellus’ yang diturunkan pula
dari kata ‘novies’ yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan
dengan jenis sastra lainnya” (1984:164). Sudjiman dalam bukunya “Kamus Istilah
Sastra” berpendapat bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang yang
menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara
tersusun; istilah lain Roman” (1986:53).
Dalam
kesusastraan Inggris tak ada pembedaan antara roman dan novel. Baik roman maupun
novel disebut novel saja. Dalam kesusastraan Indonesia dibedakan roman daripada
novel. (Badudu, 1984:51). Selain novel, ada juga istilah roman dan novelete.
Tetapi dalam sastra Sunda istilah tersebut tidak dibedakan dengan novel.
Maksudnya, baik roman maupun novelete, sama-sama disebut novel saja dalam
kesusastraan Sunda (Rahayu, dkk, 1994:171)
Novel merupakan cerita rekaan yang berbentuk prosa dan
isinya menceritakan kehidupan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan oleh Yus
Rusyana (1979:7) bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan tingkah laku yang
nyata. Menurut J.S. Badudu dalam novel dilukiskan hanya
sebagian dari hidup tokoh cerita, bagian hidup yang mengubah nasibnya. (Badudu,
1984:51).
Novel Kembang-Kembang Petingan karya
Holisoh M.É memiliki latar
belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang tampak. Beberapa masalah yang ditonjolkan
adalah kemiskinan, pendidikan rendah, budaya
seks bebas, dan kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak.
Novel Kembang-Kembang Petingan karya Holisoh
M.É. memiliki nilai keunikan tersendiri. Di sini
pengarang lebih menonjolkan sosok Enok sebagai perempuan muda yang menjadi
korban kekerasan zaman. Enok menjadi sosok ibu yang bertanggung jawab terhadap
anak sepenuhnya, belum lagi terhadap orang tua dan adiknya juga harus mencari
penghasilan untuk membiayai kehidupan keluarganya. Enok yang ditinggal pergi
oleh suaminya, mau tak mau harus menjalani hal yang tak lazim bagi perempuan,
yaitu bekerja. Tidak mempunyai keahlian khusus dan tingkat pendidikan rendah,
membuat Enok harus rela menjalani pekerjaan apa saja, tak terkecuali menjual
diri.
Kebiasaan buruk
suatu bangsa tidak lepas dari masalah pendidikan. Pendidikan melalui praktik
dan pembiasaan dalam lingkungan sosial tertentu menentukan habitus seseorang atau suatu kelompok. Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi
tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi
suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan
sosial tertentu (Bourdieu, 1994:16-17).
Tingkat pendidikan yang
rendah di Indonesia sering menjadi penyebab banyaknya pengangguran di negeri
ini. Belum lagi tingkat kriminal yang tinggi, yang dikarenakan sulitnya
mendapat pekerjaan yang layak dan mencukupi. Enok yang notabene masuk ke dalam
kategori tingkat pendidikan pun mau tak mau mengambil pekerjaan sebagai wanita
pekerja seks komersial. Pekerjaan yang mungkin Enok sendiri tidak ingin
mengambilnya. Tapi tuntutan ekonomi menjadi penilaian lain. Keuntungan yang
bisa ia dapat dari pekerjaannya ini mampu menghidupi kedua anaknya di desa,
juga menjadi tumpuan keluarga orang tuanya di desa.
Bergaul dengan
teman-teman seperjuangannya, membuat Enok memiliki kebiasaan-kebiasaan yang
sama dengan temannya. Bekerja pada malam hari hingga dini hari dan tidur pada
siang hari sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dia dan teman-temannya. Mengisi
waktu luang di sore hari dengan bercanda, merokok, dan berduduk santai pun
menjadi rutinitas sehari-harinya.
Enok yang menjadi
pekerja tentu saja mempunyai majikan yang mempekerjakannya. Seorang wanita yang
sering disebut ‘Mamih’ merupakan majikan yang mempekerjakan Enok. Dalam hal ini
Enok tentu saja ada di bawah kuasa seorang majikan, yang mengharuskannya ada pada
posisi dikuasai. Dalam semua masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai.
Dominasi ini tergantung pada situasi, sumber daya (kapital), dan strategi
pelaku. Menurut Bourdieu kapital ada empat jenis: kapital ekonomi, budaya,
sosial, dan simbolik. Kapital ekonomi adalah sarana produksi dan sarana
finansial. Kapital ini merupakan yang paling mudah dikonvensikan ke
kapital-kapital lain. Enok yang bergelut dengan pekerjaannya secara tak
langsung telah masuk ke dalam bagian ini, karena terdapat masalah finansial di
dalamnya. Sedangkan kapital budaya meliputi ijasah, pengetahuan, kode budaya,
cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul yang berperan
dalam penentuan kelompok sosial (Bourdieu, 1994:20-46). Enok yang sehari-hari
ada di lingkungan tertutup dari masyarakat umum tentu mempunyai gaya dan
bahasan pembicaraan yang berbeda pula dengan masyarakat pada umumnya. Hal itu
dibuktikan dengan groginya sosok Enok
yang terpaksa pergi ke sebuah warung karena ingin membeli sesuatu. Enok terlihat
canggung pada saat pergi ke warung, belum lagi adanya pembicaraan kecil di
antara para pengunjung warung yang terlihat berbisik membicarakannya.
Kapital sosial
berupa jaringan hubungan yang bekerja sebagai sumber daya untuk penentuan
kedudukan sosial, akumulasi modal, atau efektivitas tindakan (Bourdieu,
1994:33). Kapital sosial bisa berupa kemampuan kerjasama karena budaya
kerjasama melahirkan kepercayaan. Kapital sosial mengandalkan perlakuan timbal
balik supaya bisa efektif. Kapital sosial juga bisa dijelaskan sebagai fenomena
struktural dalam arti suatu bentuk interiorisasi nilai, pertukaran,
solidaritas, kepercayaan berkat adanya sanksi atau imbalan, dan kemampuan
pengawasan diri. Imbalan yang diberikan oleh laki-laki hidung belang menjadi
penghasilan pribadi bagi Enok. Sifat saling membantu antar teman seperjuangan
menjadi hal baik yang ditonjolkan dalam novel ini. Ketika teman Enok
membutuhkan uang lebih, tanpa berpikir panjang Enok pun langsung memberikan
pinjaman kepada temannya.
Selain mencari bagian
yang menonjolkan kekuasaan di dalamnya. Karya Holisoh M.É. ini
menjadi kritik sekaligus pembelaan bagi kaum wanita. Di mana wanita yang seharusnya mempunyai
tempat khusus dan perlindungan lebih, diceritakan kembali dengan cara kritik
yang seharusnya dapat dimengerti oleh berbagai pihak. Terjun langsung ke dunia
pekerjaan bukanlah kebiasaan umum seorang wanita. Apalagi pada pekerjaannya terdapat dominasi dari pihak
tertentu yang mempekerjakannya.
Holisoh pun melakukan kritik terhadap
kaum lelaki yang dengan seenaknya bisa meninggalkan kaum wanita begitu saja. Kritik tersebut dilayangkan dalam sebuah
karya berbentuk novel yang dengan rinci tanpa sensor menjelaskan kejadian
setelah Enok ditinggalkan suaminya, kemudian terjun ke dalam pekerjaan yang
sangat buruk. Bahkan oleh kebanyakan orang dapat disebut sebagai pekerjaan yang
sangat hina. Pada hal ini
semakian terlihat bahwa Enok dalam cerita ini menjadi pihak yang dikuasai oleh
beberapa pihak tertentu.
Novel Kembang-Kembang Petingan karya
Holisoh M.É. menceritakan realitas kehidupan pada saat ini. Terutama dalam
kehidupan wanita yang sering menjadi korban dalam hal apapun. Di mana tokoh utama wanita dalam novel ini ada dalam
bayang-bayang dominasi dari beberapa pihak. Karya ini bisa
dikatakan sebagai cerminan nyata kondisi masyarakat kekinian. Novel ini pun mengajak kita untuk lebih memaklumi
akan hal-hal yang kita anggap buruk atau hina. Karena mungkin tidak semata-mata
mereka melakukan hal tersebut apabila keadaan mencukupi.
DAFTAR PUSTAKA:
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi
Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra. Yogyakarta:
Jalasutra.
Holisoh, M.É. 2002. Kembang-Kembang
Petingan. Bandung: Girimukti.
Luxemburg, Jan van. dkk. 1992. Pengantar
Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rizki Sanjaya, Sastra Sunda Unpad.
No comments:
Post a Comment