30 November 2015

Novel Kembang-Kembang Petingan dalam Teori Kekuasaan Pierre Bourdieu


Dalam sebuah novel sering kita jumpai dominasi-dominasi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Tak jarang ditemukan bagian di mana pihak yang dikuasai harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh yang memiliki kuasa. Kebiasaan-kebiasaan dari tokoh di dalamnya pun cenderung berbeda dan mempunyai keunikannya masing-masing.
Novel bukan berasal dari bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda. Tetapi berasal dari bahasa asing. Seperti dikemukakan oleh Tarigan “Kata novel berasal dari kata Latin ‘novellus’ yang diturunkan pula dari kata ‘novies’ yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya” (1984:164). Sudjiman dalam bukunya “Kamus Istilah Sastra” berpendapat bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun; istilah lain Roman” (1986:53).
Dalam kesusastraan Inggris tak ada pembedaan antara roman dan novel. Baik roman maupun novel disebut novel saja. Dalam kesusastraan Indonesia dibedakan roman daripada novel. (Badudu, 1984:51). Selain novel, ada juga istilah roman dan novelete. Tetapi dalam sastra Sunda istilah tersebut tidak dibedakan dengan novel. Maksudnya, baik roman maupun novelete, sama-sama disebut novel saja dalam kesusastraan Sunda (Rahayu, dkk, 1994:171)
Novel merupakan cerita rekaan yang berbentuk prosa dan isinya menceritakan kehidupan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan oleh Yus Rusyana (1979:7) bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan tingkah laku yang nyata. Menurut J.S. Badudu dalam novel dilukiskan hanya sebagian dari hidup tokoh cerita, bagian hidup yang mengubah nasibnya. (Badudu, 1984:51).
Novel Kembang-Kembang Petingan karya Holisoh M.É memiliki latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang tampak. Beberapa masalah yang ditonjolkan adalah kemiskinan, pendidikan rendah, budaya seks bebas, dan kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak.
Novel Kembang-Kembang Petingan karya Holisoh M.É. memiliki nilai keunikan tersendiri. Di sini pengarang lebih menonjolkan sosok Enok sebagai perempuan muda yang menjadi korban kekerasan zaman. Enok menjadi sosok ibu yang bertanggung jawab terhadap anak sepenuhnya, belum lagi terhadap orang tua dan adiknya juga harus mencari penghasilan untuk membiayai kehidupan keluarganya. Enok yang ditinggal pergi oleh suaminya, mau tak mau harus menjalani hal yang tak lazim bagi perempuan, yaitu bekerja. Tidak mempunyai keahlian khusus dan tingkat pendidikan rendah, membuat Enok harus rela menjalani pekerjaan apa saja, tak terkecuali menjual diri.
Kebiasaan buruk suatu bangsa tidak lepas dari masalah pendidikan. Pendidikan melalui praktik dan pembiasaan dalam lingkungan sosial tertentu menentukan habitus seseorang atau suatu kelompok. Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994:16-17).
Tingkat pendidikan yang rendah di Indonesia sering menjadi penyebab banyaknya pengangguran di negeri ini. Belum lagi tingkat kriminal yang tinggi, yang dikarenakan sulitnya mendapat pekerjaan yang layak dan mencukupi. Enok yang notabene masuk ke dalam kategori tingkat pendidikan pun mau tak mau mengambil pekerjaan sebagai wanita pekerja seks komersial. Pekerjaan yang mungkin Enok sendiri tidak ingin mengambilnya. Tapi tuntutan ekonomi menjadi penilaian lain. Keuntungan yang bisa ia dapat dari pekerjaannya ini mampu menghidupi kedua anaknya di desa, juga menjadi tumpuan keluarga orang tuanya di desa.
Bergaul dengan teman-teman seperjuangannya, membuat Enok memiliki kebiasaan-kebiasaan yang sama dengan temannya. Bekerja pada malam hari hingga dini hari dan tidur pada siang hari sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dia dan teman-temannya. Mengisi waktu luang di sore hari dengan bercanda, merokok, dan berduduk santai pun menjadi rutinitas sehari-harinya.
Enok yang menjadi pekerja tentu saja mempunyai majikan yang mempekerjakannya. Seorang wanita yang sering disebut ‘Mamih’ merupakan majikan yang mempekerjakan Enok. Dalam hal ini Enok tentu saja ada di bawah kuasa seorang majikan, yang mengharuskannya ada pada posisi dikuasai. Dalam semua masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Dominasi ini tergantung pada situasi, sumber daya (kapital), dan strategi pelaku. Menurut Bourdieu kapital ada empat jenis: kapital ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik. Kapital ekonomi adalah sarana produksi dan sarana finansial. Kapital ini merupakan yang paling mudah dikonvensikan ke kapital-kapital lain. Enok yang bergelut dengan pekerjaannya secara tak langsung telah masuk ke dalam bagian ini, karena terdapat masalah finansial di dalamnya. Sedangkan kapital budaya meliputi ijasah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul yang berperan dalam penentuan kelompok sosial (Bourdieu, 1994:20-46). Enok yang sehari-hari ada di lingkungan tertutup dari masyarakat umum tentu mempunyai gaya dan bahasan pembicaraan yang berbeda pula dengan masyarakat pada umumnya. Hal itu dibuktikan dengan groginya sosok Enok yang terpaksa pergi ke sebuah warung karena ingin membeli sesuatu. Enok terlihat canggung pada saat pergi ke warung, belum lagi adanya pembicaraan kecil di antara para pengunjung warung yang terlihat berbisik membicarakannya.
Kapital sosial berupa jaringan hubungan yang bekerja sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial, akumulasi modal, atau efektivitas tindakan (Bourdieu, 1994:33). Kapital sosial bisa berupa kemampuan kerjasama karena budaya kerjasama melahirkan kepercayaan. Kapital sosial mengandalkan perlakuan timbal balik supaya bisa efektif. Kapital sosial juga bisa dijelaskan sebagai fenomena struktural dalam arti suatu bentuk interiorisasi nilai, pertukaran, solidaritas, kepercayaan berkat adanya sanksi atau imbalan, dan kemampuan pengawasan diri. Imbalan yang diberikan oleh laki-laki hidung belang menjadi penghasilan pribadi bagi Enok. Sifat saling membantu antar teman seperjuangan menjadi hal baik yang ditonjolkan dalam novel ini. Ketika teman Enok membutuhkan uang lebih, tanpa berpikir panjang Enok pun langsung memberikan pinjaman kepada temannya.
Selain mencari bagian yang menonjolkan kekuasaan di dalamnya. Karya Holisoh M.É. ini menjadi kritik sekaligus pembelaan bagi kaum wanita. Di mana wanita yang seharusnya mempunyai tempat khusus dan perlindungan lebih, diceritakan kembali dengan cara kritik yang seharusnya dapat dimengerti oleh berbagai pihak. Terjun langsung ke dunia pekerjaan bukanlah kebiasaan umum seorang wanita. Apalagi pada pekerjaannya terdapat dominasi dari pihak tertentu yang mempekerjakannya.
Holisoh pun melakukan kritik terhadap kaum lelaki yang dengan seenaknya bisa meninggalkan kaum wanita begitu saja. Kritik tersebut dilayangkan dalam sebuah karya berbentuk novel yang dengan rinci tanpa sensor menjelaskan kejadian setelah Enok ditinggalkan suaminya, kemudian terjun ke dalam pekerjaan yang sangat buruk. Bahkan oleh kebanyakan orang dapat disebut sebagai pekerjaan yang sangat hina. Pada hal ini semakian terlihat bahwa Enok dalam cerita ini menjadi pihak yang dikuasai oleh beberapa pihak tertentu.
Novel Kembang-Kembang Petingan karya Holisoh M.É. menceritakan realitas kehidupan pada saat ini. Terutama dalam kehidupan wanita yang sering menjadi korban dalam hal apapun. Di mana tokoh utama wanita dalam novel ini ada dalam bayang-bayang dominasi dari beberapa pihak. Karya ini bisa dikatakan sebagai cerminan nyata kondisi masyarakat kekinian. Novel ini pun mengajak kita untuk lebih memaklumi akan hal-hal yang kita anggap buruk atau hina. Karena mungkin tidak semata-mata mereka melakukan hal tersebut apabila keadaan mencukupi.

DAFTAR PUSTAKA:
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra. Yogyakarta: Jalasutra.
Holisoh, M.É. 2002. Kembang-Kembang Petingan. Bandung: Girimukti.
Luxemburg, Jan van. dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Rizki Sanjaya, Sastra Sunda Unpad.

No comments:

Post a Comment