22 December 2015

Bandung Soméah Teuing ka Sémah


Kebetulan siang hari itu Kota Bandung sedang dingin-dinginnya. Selain karena cuaca sehari-harinya yang panas. Saat itu juga langit Bandung sedang mendung ditemani hujan yang turun cukup deras. Dengan menaiki kuda pacu, dalam perjalanan menuju salahsatu jalan protokol di Kota Bandung, ada banyak pemandangan yang jarang terlihat sebelumnya. Hal yang sangat jarang bahkan aneh jika pemandangan ini harus dibandingkan dengan masa kecil penulis. Dan jika itu terlalu jauh, bisa dibandingkan pada saat penulis masih mencari ilmu di tingkat Sekolah Menengah Atas beberapa tahun yang lalu.
Kota Bandung merupakan sebuah bagian dari Negara Kesatuan Repubik Indonesia sekaligus mempunyai jabatan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Selain menjadi ibu kota di Provinsi yang menurut sensus penduduk terakhir memiliki jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Saat ini, Kota Bandung dikenal juga sebagai kota yang memiliki banyak gedung-gedung tinggi, juga sebagai salahsatu tempat belanja kelas atas bagi sebagian masyarakat Indonesia, tak terkecuali turis asing.

Dalam peribahasa Indonesia dijelaskan bahwa “tamu adalah raja”. Maka sebagai kelanjutannya, di sini penulis akan membahas sisi baik, ramah-tamah ---dalam bahasa Sunda disebut soméah--- yang Kota Bandung tawarkan terhadap para tamunya; tanpa pandang bulu. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara yang (tidak) tahu aturan.

Melihat fenomena semakin banyaknya gedung-gedung tinggi di Kota Bandung, penulis rasa bukan menjadi sebuah kebutuhan primer bagi warga Bandung pada umumnya. Semakin banyaknya gedung-gedung tinggi dan mewah di Kota ini tentu hanya menjadi keuntungan bagi beberapa pihak. Lagi-lagi wisatawan dalam negeri dan mancanegara yang menjadi target. Tentu benar jika peribahasa “tamu adalah raja” sangat terbukti di Kota Bandung. Tamu-tamu  yang datang disuguhi dengan fasilitas hotel-hotel berbintang yang baru dibangun, factory outlet, juga pusat perbelanjaan dengan kategori supermall.

Peran pemerintahan Kota Bandung dalam hal ini sangat dipertanyakan. Terlepas keputusan-keputusan tersebut diambil dari pemerintahan sebelumnya atau bukan. Yang masyarakat lihat, pembangunan dan perizinan tersebut ada di periode pemerintahan Bandung saat ini.

***

Dalam beberapa kesempatan, peran Kota Bandung mensejahterakan tamunya patut diacungi jempol. Berpindah pada perilaku di jalanan, tidak jarang penulis melihat perilaku para tamu yang mengemudi tanpa mau mengalah. Budaya seperti ini tentu kurang cocok jika harus dipakai di Bandung. Karena tanpa demikian pun, orang Sunda pada umumnya akan bersifat ramah dan cenderung ”mangga ti payun” tanpa diperintah oleh siapapun. Penulis memiliki kekhawatiran yang cukup besar, karena budaya seperti itu jika diulang secara terus-menerus akan menjadi sebuah pembenaran bagi warga asli yang melihatnya. Karena akan ada rasa bahwa mereka bukan pelanggar yang pertama. Lihat saja perilaku seperti menghentikan kendaraan di zebra cross ketika lampu dalam keadaan merah, atau menaikkan motor ke atas trotoar, yang anak Sekolah Dasar sekalipun tahu apa fungsi dari simbol lalu lintas tersebut. Perilaku tidak sabar seperti itu lagi-lagi tidak pantas jika dilakukan di Kota Bandung, mengingat suhu di sini tidak sepanas suhu mayoritas kendaraan berplat ibu kota negara Indonesia.

            Di hari yang sama, penulis tanpa sengaja mendapati perilaku kurang pantas dari tamu berplat bukan Bandung yang mayoritasnya sering datang ketika akhir pekan ke kota ini. Dari dalam mobil, pengemudi dengan sengaja membuang gelas bekas kopi tepat ke tengah jalan di Simpang Lima Jalan Sunda. Ironis memang, dan tidak ada unsur mengada-ngada. Logikanya jika warga Bandung saja mendapat himbauan dari Walikota agar tidak melanggar aturan lalu lintas, lantas apa karena para wisatawan itu telah berbelanja di tempat-tempat berkelas dan menyumbang pajak sebesar 10% yang menambah devisa itu diperbolehkan untuk melanggar? Atau karena sekedar selfie dan berfoto ria dengan caption Bandung soméah hadé ka sémah, euy” menjadi sebuah pembenaran bagi mereka untuk ikut melanggar lalu lintas, juga membuang sampah sembarangan?

***

Masih terkait judul utama. Merambah ke sektor lain. Semakin menjamurnya minimarket di Kota Bandung sepertinya tidak lepas dari andil pemerintah daerah juga. Warung dan toko-toko pribumi dengan modal seadanya, jika diharuskan bersebelahan dengan minimarket di kiri dan di kanan, tentu menjadi sebuah persaingan antara pemuncak klasemen dengan penghuni juru kunci jika perlu mengambil contoh aturan peringkat dalam sepakbola.

Persaingan-persaingan seperti ini menurut pengamatan penulis tidak masuk akal. Karena dengan jarak kurang dari 1 km pada kenyataannya terdapat beberapa minimarketdengan nama yang sama. Logikanya, sangat sulit bagi warung dan toko yang mengandalkan pembeli satuan, dengan sistem pembelian di minimarket yang borongan ---bahkan ada juga yang membeli satuan---, bukan tidak mungkin membuat warung dan toko kecil milik pengusaha ekonomi menengah itu terpaksa harus tutup di tengah jalan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk bertahan. Penulis rasa pada bagian ini dibutuhkan alasan yang jelas dari pihak pemerintah daerah terkait kebijakan pemberian izin terhadap menjamurnya minimarket. Iri jika harus berkaca pada daerah lain di Sumatera Barat sana yang dengan tegas melarang hadirnya minimarket.

Jika terus banyak keputusan yang tidak memihak pada warga Kota Bandung, dan dengan terus melemahnya kesejahteraan para warga aslinya. Bukan tidak mungkin akan ada perpindahan penduduk dari Kota menuju Kabupaten yang menandakan pemilik rumah dikalahkan oleh tamunya.

***

Bandung soméah teuing ka sémah” ceuk kuring.

Rizki Sanjaya, Sastra Sunda Unpad

Bandung, 12 Désémber 2015.


No comments:

Post a Comment