Hadiah Sastera Rancagé pertama diselenggarakan tahun 1989 oleh
Yayasan Kebudayan Rancagé. Yayasan ini didirikan oleh para budayawan Sunda
seperti Ajip Rosidi, Edi S. Ekajati, dan Erry Riyana Harjapamekas. Dengan usia
lebih dari seperempat abad, tentu sudah banyak judul dan sastrawan yang
memenangkan penghargaan ini, baik dalam karya maupun jasa.
Pada tahun 2014 terdapat 19 judul buku yang masuk kriteria
penilaian Hadiah Sastera Rancagé. Kriteria yang menjadi penilaian yaitu
buku-buku selain karya Ajip Rosidi, cetakan ulang, terjemahan, danyang dibuat
bersama. Dari ke-19 judul tersebut, akhirnya terpilih tiga buku yang menjadi
pertimbangan para juri, antara lain: Dayeuh Kasareupnakeun Nazarudin
Azhar, Kembang-Kembang Anten Aam Amilia, dan Lagu
Ngajadi Dian Hendrayana.
Aam Amilia berani mengangkat masalah poligami dalam novel Kembang-Kembang
Anten. Pengarang yang pernah memperoleh Anugerah Budaya Wali Kota Bandung,
Gubernur Jawa Barat, dan Institut Budaya Sunda ini dinilai dewan juri kurang
meyakinkan secara psikologis.
Seorang pegiat fiksi mini, Nazarudin Azhar membuat buku kumpulan
fiksi mini yang berjudul Dayeuh Kasareupnakeun. Kumpulan fiksi
mini ini dinilai rajin mencari bentuk baru untuk menyatakan suatu gagasan.
Sayang dari beberapa yang berhasil, banyak juga yang belum berhasil.
Kumpulan guguritan Lagu Ngajadi karangan Dian
Hendrayana, dalam penilaian dewan juri mendapat pujian. Meski mendapat
penilaian baik, dewan juri mengkritik dalam beberapa bagian, Dian membuat
kalimat yang terasa dipaksakan. Tapi tidak sampai menurunkan rasa imajinasi
dalam buku tersebut.
Dari berbagai penilaian dan pertimbangan, akhirnya dewan juri
memutuskan bahwa kumpulan guguritan Dian Hendrayana dan
novel Aam Amilia berhak menjadi pemenang Hadiah Sastera Rancagé 2015 kategori
karya dan jasa.
***
Awal 2014, Dian Hendrayana membuat sebuah buku kumpulan guguritan yang
diberi judul Lagu Ngajadi. Dalam Kamus Basa Sunda R.
Satjadibrata dijelaskan bahwa “guguritan” berasal dari kata “gurit”,
yang mempunyai arti “ngagurit” atau mengarang sebuah tembang, melalui
proses dirajék dengan bentuk pengulangan dwipurwa menjadi “guguritan”
yang mempunyai arti cerita pendek yang bisa ditembangkan.
Buku Lagu Ngajadi, diisi oleh 36 kumpulan guguritan yang
diambil dari rumpaka pupuh sekar ageung. Kemudian dibagi menjadi: Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.
Ke-36 guguritan tersebut, kemudian dibagi menurut bentuk dan
jumlahnya: (1) Kinanti, 5 (2) Asmarandana, 5 (3) Sinom,
9 (4) Dangdanggula, 17. Dian lebih memilih guguritan dalam
bentuk dangdanggula. Mengacu pada sifatnya, dangdanggula adalah
pupuh yang menceritakan ketentraman dan kegembiraan. Keluar dari sifatnya, bisa
saja Dian bermaksud mencari ruang lebih dalam merangkai kata. Karena dari empat
pupuh yang tergolong sekar ageung, dangdanggula menjadi
pupuh yang memiliki baris ”padalisan” paling panjang, yakni 10 baris.
Lebih banyak satu baris dibanding asmarandana.
Tahun 1991 menjadi awal Dian membuat guguritan. Guguritan pertama
yang dibuat dalam bukunya, berbentuk sinom, dengan judul Pegat
Asih. Karakter Dian bisa terlihat dari pengulangan kata “engkang”
yang dibuat berkali-kali. Dian menempatkan dirinya sebagai seorang perempuan
yang merasa kehilangan. Kehilangan di sini sangat terasa ketika air mata sudah
terasa tak bernilai dan menganggap rendah penilaian dosa. Di sini guguritan menjadi
pengungkapan rasa bagi Dian.
Ada kalanya Dian berhenti menulis guguritan. Terhitung
ada tiga fase Dian berhenti menulis. Yakni rentang 1992-1998, 2000-2003, dan
2006. Sebelum fase pertama, hanya satu guguritan yang Dian
buat. Mendekati berakhirnya orde baru, banyak sekali orator yang menulis
gagasan dan pemikirannya lewat sebuah sajak. Dengan semangat zaman, mungkin
Dian juga ikut meramaikan waktu itu. Untuk fase kedua, tentu bisa dihubungkan
dengan kesibukan Dian yang bekerja menjadi wartawan di Metro Bandung.
Sedangkan 2006, Dian lagi-lagi tidak membuat guguritan.
Guguritan merupakan primadona pada zamannya.
Penggagasnya adalah Haji Hasan Mustapa. Etti RS pernah menjelaskan bahwa guguritan dan dangding sering
dipakai dalam bentuk gending karesmen dan setra
karesmen. Beberapa di antaranya karya-karya dari Ahmad Bakri, Hidayat
Suryalaga, dan Wahyu Wibisana. Dan sebelum Dian membuat Lagu Ngajadi,
sudah ada buku-buku guguritan sebelumnya. Beberapa pengarang
yang guguritannya dibukukan adalah Dedy Windyagiri, Dyah
Padmini, Wahyu Wibisana, dan Yus Rusyana.
Bicara tentang awal dibuatnya guguritan,
Ajip Rosidi dalam esainya Haji Hasan Mustapa: Hiji Fénoména Manusa
Sunda, menceritakan bahwa naskah tulisan Haji Hasan Mustapa yang
diceritakan dari Mangsawirdja, lebih dari 10.000 pada. Naskah tersebut pernah dikumpulkan dan
dijilid menjadi empat jilid. Bisa dibayangkan banyaknya tulisan mengenai guguritan dan dangding pada
masa itu.
Pada tahun 2013, Dian semakin rajin membuat guguritan: (1) 1991,1 (2) 1999, 1 (3) 2004, 5 (4) 2005, 4 (5) 2007, 1 (6) 2008, 1 (7) 2009, 2 (8) 2010, 3 (9) 2011, 3 (10) 2012, 2 (11) 2013, 13. Melihat dari semakin giatnya Dian mengumpulkan guguritan di tahun 2013, perlu dipertanyakan apa maksud di balik niatnya itu. Apakah Dian ingin cepat menerbitkan buku, dikejar deadline, atau Dian sedang produktif membuat guguritan di tahun tersebut? Walau timbul dugaan demikian, kita tetap harus mengapresiasi usahanya tersebut. Karena dalam buku ini, tetap Dian yang mendapat apresiasi yang positif dari para juri. Selain itu, dengan terbitnya buku ini, kita juga harus tetap memberi apresiasi. Karena dengan terbitnya buku ini kita dapat mempunyai harapan bahwa guguritan bisa eksis kembali saat ini. Karena hingga saat ini tidak banyak pengarang yang aktif membuat guguritan.
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad.
*Dimuat di Koran Sindo Jabar, Kamis, 3 Séptémber 2015.
No comments:
Post a Comment