5 January 2014

Morfofonologi: Morfologi dan Fonologi

Morfofonologi
Morfofonologi atau morfonologi adalah cabang linguistik yang menelaah perubahan fonem akibat pertemuan atau hubungan morfem dengan morfem lainnya. Cabang ilmu ini juga disebut morfofonemik yang dapat bermakna subjek telaahnya, yaitu perubahan fonem akibat pertemuan atau hubungan morfem dengan morfem lainnya.
Dalam bahasa Indonesia, contoh morfofonemik antara lain adalah perubahan bentuk prefiks meng-per-ber-, dan ter- sesuai dengan fonem kata dasar yang dilekatinya. Misalnya perubahan meng- menjadi men- jika kata dasarnya dimulai dengan fonem /d/ atau /t/: meng- dan duga menjadi menduga dan bukan mengduga.
Morfologi
Morfologi dipakai oleh berbagai cabang ilmu. Morfologi adalah ilmu yang mempelajari morfem dan bagaimana morfem-morfem tersebut dibentuk menjadi kata atau morfem kompleks. Secara harafiah, morfologi berarti 'pengetahuan tentang bentuk' (morphos). Morfologi adalah ilmu bahasa yang mempelajari mengenai pembentukan kata. Berikut beberapa ilmu yang menggunakan nama morfologi:

2.1.1 Morfem
Morfem adalah kesatuan bunyi bahasa yang terkecil yang mengandung aria tau ikut mendukung ari. Morfem dapat dapat dibedakan yakni:
1.      Morfem bebas
Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri dan dapat dimengerti bila dikatakan dalam kehidupan sehari-hari. Ada morfem bebas yang sama dengan kata, misalnya: aya, diuk, dan sebagainya.

2.      Morfem terikat
Morfem terikat tidak dapat berdiri sendiri, karena itu tidak dimengerti bila dikatakan tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Morfem terikat ini dapat berupa afiks (imbuhan) yang berfungsi mendukung arti.

3.      Morfem unik
Morfem unik tak pernah muncul tersendiri, selalu terikat oleh morfem lainnya (dalam frase).

4.      Morfem terikat secara morfologis (MTM) dan morfem terikat secara (MTS), seperti pada:
gidig    tidak pernah muncul tersendiri tetapi selalu muncul dalam ngadigdig
sufiks   -na (MTS) dalam kamar jeung budakna……
           
2.1.2 Kata
            Kata dapat berupa:
1.      Satu morfem dasar yang biasa disebut kata dasar, seperti: saré, diuk, dahar.
2.      Kombinasi morfem dasar dengan afiks (MTM) dalam proses morfemis, dan menghasilkan kata jadian.
3.      Pengulangan morfem dasar, atau morfem dasar dan (MTM) diulang, disebut kata ulang.
4.      Kombinasi dua morfem dasar, atau kombinasi kata jadian disebut kata majemuk.

2.1.2.1 Kata Tunggal
Kata tunggal (morfem bebas) dalam bahasa Sunda berdasarkan jumlah silabenya:
1.      Satu silabe: gek, héy, jung
2.      Dua silabe: sangu, kabur, saré
3.      Tiga silabe: bobodo, kamana, tarucing
4.      Empat silabe: amburasut, balakutak
5.      Lima silabe: kamalandingan
6.      Enam silabe: belekecepetnyemen


2.1.2.2 Kata Jadian
            Kata jadian dapat terwujud melalui kombinasi kata dasar dengan afiks. Caranya melalui proses morfemis yang disebut afiksasi. Afiks sendiri mendukung makna kategorial bagi kata dasar.
            Afiks
            Berdasarkan posisi afiks dapat berupa:
1.      Prefiks (awalan)
2.      Infiks (sisipan)
3.      Sufiks (akhiran)
Afiks dapat pula muncul dalam bentuk kombinasi atau simulfiks sehingga dapat pula diteliti:
4.      Kombinasi: a. prefiks + infiks
  b. prefiks + infiks + sufiks
  c. prefiks + sufiks
5.      Simulfiks dapa berupa:
a.       prefiks + sufiks, conto: pi- + -eun
b.      prefiks + infiks, conto: ting- + -ar-


2.1.3 Gejala Morfofonemik
Gejala morfofonemik dalam hal ini adalah gejala perubahan, penambahan, pengurangan fonem pada morfem dasar. Hal tersebut biasa terjadi dalam proses pembentukan morfem kompleks atau kata jadian, dan dalam proses pembentukan frase.
Perubahan bentuk ini tidak mengubah arti, hanya perubahan bentuk akibat proses yang dikatakan di atas. Gejala morfofonemik bahasa Sunda meliputi:
a.      metatesis
dikatakan metatesis bila terjadi perubahan tempat pada bentuk dasar, conto:
dalu menjadi ladu, aduy  menjadi ayud
b.      protesis
bila terjadi penambahan fonem pada awal bentuk dasar (fonem inisial) dikatakan protesis, conto:
ai  menjadi nyai, jeung menjadi eujeung, rok menjadi erok, akang menjadi kakang
c.       epentesis
gejala bahasa ini terjadi bila ada fonem yang disisipkan ke dalam bentuk dasar, conto:
kadé menjadi kahadé, eunteup menjadi euntreup

d.      pararoge
dikatakan pararoge apabila diakhir bentuk dasar ada fonem yang ditambahkan, conto:
kitu menjadi kituh, ema menjadi emah
e.       aferesis
gejala bahasa ini terdapat pengurangan pada awal bentuk dasar, conto:
arek menjadi rek, pilari menjadi ilari
f.       sinkope
terjadi apabila fonem medial (tengah) dikurangi, conto:
ambeh menjadi abeh
g.      apakope
terjadi bila fonem final (akhir) pada bentuk dasar dikurangi, conto:
Italia menjadi Itali, ituh menjadi itu
h.      asimilasi
·         asimilasi progresif terjadi bila fonem yang berada di belakang salah satu fonem pada bentuk dasar terpengaruh oleh fonem yang di depannya, hingga berubah (luluh) menjadi fonem yang berada di depannya, conto:
gambar menjadi gamar, jumblah menjadi jumlah
·         asimilasi regresif terjadi bila fonem yang ada di belakang dari bentuk dasar itu dapat mempengaruhi fonem yang ada di depan, conto:
gepluk menjadi  kepluk, gaplok menjadi kaplok
i.        disimilasi
·         disimilasi progresif yang terjadi bila satu fonem pada bentuk dasar berubah akibat pengaruh fonem yang sama yang ada di depannya, conto:
laleur menjadi lareur, leler menjadi lerer
·         disimilasi regresif yang terjadi bila satu fonem akibat pengaruh fonem yang sama yang ada di belakangnya berubah menjadi fonem lain, conto:
ruruntuk menjadi luruntuk, siraru menjadi silaru
2.2 Kata Ulang
Kata ulang adalah kata yang diulang, baik sebagian maupun seluruhnya. Bahasa Sunda memiliki pengulangan dua kali dan pengulangan tiga kali. Pengulangan yang ada dalam bahasa Sunda, sebagai berikut:
1.      dwilingga
pengulangan dengan mengulang seluruh bentuk dasar disebut dwimurni. Dalam proses morfemis dwimurni dapat berupa:
·         dwimurni
dwimurni (bentuk ulang penuh) dapat terjadi pada kelas nomina, verba, adjektiva, adverbial, numeralia, interogativa, dan partikel, dan berfungsi:
a)      menunjukkan jamak pada nomina, conto:
korsi menjadi korsi-korsi, imah menjadi imah-imah
b)      membentuk dan menunjukkan verba, conto:
kuda menjadi kuda-kuda
c)      menunjukkan adjektiva, conto:
lila menjadi lila-lila
d)     menunjukkan nomina temporal, conto:
ayeuna menjadi ayeuna-ayeuna
e)      menunjukkan numeralia (urutan kesatuan), conto:
hiji menjadi hiji-hiji
f)       menunjukkan modalitas, conto:
bisa menjadi bisa-bisa
g)      membentuk partikel dari interogativa, conto:
saha menjadi saha-saha

·         dwimurni berafiks dan bernasal
dwimurni berafiks dan bernasal terjadi bila bentuk yang diulang ditambah dengan afiks atau bentuk yang diulang mengalami proses nasalisasi, dan berfungsi membentuk verba, conto:
beuli menjadi pangmeuli-meulikeun, cape menjadi nyape-nyape
·         dwimurni (pengulangan regresif)
dwimurni ini seolah-olah mendapat prefiks (tambahan) mu- pada bentuk yang diulang, dan terjadi pada partikel, conto:
asal menjadi asal-muasal, sabab menjadi sabab-musabab

2.      dwipurwa
Dikatakan dwipurwa bila pengulangan yang terjadi pada sebagian bentuk dasar (silabe inisial diulang). Bahasa Sunda memiliki:
a)      dwipurwa
b)      dwipurwa dengan proses morfemis
c)      dwipurwa berafiks dan bernasal
d)     dwipurwa berafiks, bernasal, dan mengalami proses morfemis

3.      trilingga (trileka)
Trilingga adalah pengulangan dengan perubahan bunyi, dan pengulangan terjadi tiga kali. Dalam hal ini terjadi pula proses morfofonemik berupa penggantian vokal.
a)      Trilingga dengan Bentuk Dasar Diketahui
b)      Trilingga dengan bentuk dasar tidak diketahui

4.      pengulangan semu
Bentuk ulang semu adalah bentuk yang tidak memiliki makna bila tidak diulang, bentuk ulang semu pada bahasa Sunda dapat berupa:

a)      Dwilingga semu, conto: cika-cika, alun-alun
b)      Dwipurwa semu, conto: papatong, kukupu
c)      Dwiwasana semu, conto: butiti, kunyunyud

Fonologi
Fonologi berasal dari kata fono yang berarti bunyi dan logos yang berarti ilmu. adalah ilmu yang mempelajari fonem, atau dikatakan pula fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mepelajari bunyi-bunyi yang berfungsi. Fonologi termasuk kedalam ilmu bunyi yang disdingtif, yaitu berfungsi sebagai pembeda makna.
Fonemik dan fonetik termasuk ke dalam fonologi. Fonetik sebagaimana yang sudah diterangkan adalah, ilmu yang mempelajari bagaimana bunyi bahasa dihasilkan. Sedangkan fonemik memiliki arti, ilmu yang mempelajari mengenai fonem. Sedangkan fonem adalah bunyi yang berfungsi sebagai pembeda makna. Tidak semua bunyi yang dihasilkan memiliki makna atau menghasilkan bunyi bahasa. Fonem juga berfungsi sebagai pembeda arti.
Fonem adalah bunyi bahasa yang fungsional. Bahasa sunda memiliki fonem vocal dan fonem konsonan, di samping diftong yang merupakan gabungan vokal dan semivokal atau sebaliknya.  Jadi fonem berbeda dengan huruf. Unluk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu :
1.udara 2.artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak 3.titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator. Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan. Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan, dalam hal ini yang dimaksud dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator.

1.1.1    Fonem Vokal
Bahasa Sunda memiliki fonem vokal sebanyak tujuh buah. Jumlah tersebut melebihi jumlah fonem vokal yang terdapat di dalam bahasa Indonesia. Ketujuh fonem vokal basa Sunda tersebut yakni: i, e, a, é, u, o, eu.
Fonem vokal dapat diwujudkan berdasarkan keadaan rongga mulut yang berubah sesuai dengan posisi lidah. Di samping itu tergantung pula pada keadaan bibir pada waktu mengucapkan fonem vokal tersebut.

1.1.1.1 Distribusi Fonem Vokal
Distribusi fonem vokal adalah tempat atau posisiyang dapat diduduki oleh fonem. Fonem dapat menduduki posisi awal, tengah, akhir.
1.1.1.2 Vokal Rangkap
Vokal rangkap adalah vokal yang berderet, dan tidak ada unsure henti dalam mengucapkannya. Bahasa Sunda memiliki dua jenis vokal rangkpa, yakni:

1.      Vokal rangkap sejenis
Vokal rangkap sejenis adalah vokal yang sama berderet dan diucapkan tanpa jeda. Dan cara pembacaannya harus jelas, tidak boleh berbarengan, harus dipisahkan. Contoh: Tiis, Tuur, Leueut, Heeh, Toong, Caang.

2.      Vokal rangkap tidak sejenis
Vokal rangkap tidak sejenis adalah vokal yang tidak sama berderet. Ucapan vokal ini tanpa unsur henti. Contoh: Miang, Hiu, Rieg, Mios, Rieut, Réa, Béo, Sair, Baé, Jauh, Bao.

1.1.2    Fonem Konsonan
Jumlah fonem konsonan bahasa Sunda sebanyak delapan belas buah. Fonem konsonan ini dapat diwujudkan bila udara yang akan keluar dari rongga mulut terhalang karena bertemunya alat-alat bicara.

1.1.2.1         Distribusi Fonem Konsonan
Distribusi fonem konsonan bahasa Sunda dapat ditentukan melalui proses awal, tengah, akhir. Ada beberapa konsonan yang tidak dapat menduduki posisi akhir, yakni: c, j, ny.

1.1.2.2         Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap adalah dua konsonan atau lebih berderet, biasanya disebut klaster. Klaster di dalam bahasa Sunda meliputi:
·         Klaster letup
mb seperti pada: lambey
mp seperti pada: sampeu
nd seperti pada: landong
nt seperti pada: gantar
nj seperti pada: panjang
nc seperti pada: pancoran
ngg seperti pada: tonggong
ngk seperti pada: tungkul
sk seperti pada: baskom
st seperti pada: pasti
·         Klaster gesekan
ks seperti pada: maksa
ngs seperti pada: bangsat
ngh seperti pada: nonghol
·         Klaster lateral
bl seperti pada: amblas
pl seperti pada: ngaplék
cl seperti pada: aclog
mpl seperti pada: tumplek
ngkl seperti pada: congklak

·         Klaster getar
pr seperti pada: keprok
tr seperti pada: ketrok
mbr seperti pada: nimbru
mpr seperti pada: amprak
ndr seperti pada: gondrong
ntr seperti pada: gentra
ncr seperti pada: mèncrèt
nkr seperti pada: junkrang

·         Klaster nasal
drn seperti pada: drn

·         Klaster semivokal
my seperti pada: umyang
py seperti pada: kupyak

1.1.3    Diftong
Diftong terjadi bila ada gabungan antara vokal dan semivokal atau sebaliknya. Sistem penulisan diftong dan vokal rangkap di dalam bahasa Indonesia tidak dibedakan.
Diftong dalam bahasa Sunda dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.      Diftong Naik
Diftong naik dapat diwujudkan bila semivokal /w/ dan /y/ berada di depan vokal hingga suara naik bila diucapkan.
a.       semivokal /w/ + vokal:
wi seperti pada: awi
wé seperti pada: awéwé
wa seperti pada: uwa
we seperti pada: wengi
wu seperti pada: awug
wo seperti pada: sawo
weu seperti pada: seuweu

b.      semivokal /y/ + vokal:
yi seperti pada: ayi
yé seperti pada: béyé
ya seperti pada: yakin
ye seperti pada: ayem
yu seperti pada: hayu
yo seperti pada: kenyot
yeu seperti pada: ayeuna

2.      Diftong Turun
Diftong turun terwujud bila vokal berada di depan semivokal /w/ atau /y/, sehingga suara menurun bila diucapkan. Bahasa Sunda memiliki diftong turun sebagai berikut:
a.       vokal + semivokal /w/:
aw seperti pada: awir-awiran
ow seperti pada: kacow
euw seperti pada: riceuw

b.      vokal + semivokal /y/:
iy seperti pada: iy                             éy seperti pada: héy
ay seperti pada: aya                          ey seperti pada:  lambey
uy seperti pada: uyuhan                    oy seperti pada: heroy
euy seperti pada: euy


DAFTAR PUSTAKA
Djajasudarma, T.F.  & Wahid, Abdul Idat. 1987. Gramatika Sunda. Bandung: Paramaartha
Morfofonologi. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Morfofonologi. diakses Senin, 22 Oktober 2012
Morfologi. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Morfologi. diakses Senin, 22 Oktober 2012

Fonologi. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Fonologi. diakses Senin, 22 Oktober 2012

Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad

No comments:

Post a Comment