NOVEL DALAM SEJARAH SASTRA SUNDA
I.
PENDAHULUAN
Novel bukan
berasal dari bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda. Tetapi berasal dari bahasa
asing. Seperti dikemukakan oleh Tarigan “Kata novel berasal dari kata Latin
‘novellus’ yang diturunkan pula dari kata ‘novies’ yang berarti baru. Dikatakan
baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya” (1984:164).
Sudjiman dalam bukunya “Kamus Istilah Sastra” berpendapat bahwa novel adalah
prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun; istilah lain Roman” (1986:53).
Dalam kesusastraan Inggris tak ada
pembedaan antara roman dan novel. Baik roman maupun novel disebut novel saja.
Dalam kesusastraan Indonesia dibedakan roman daripada novel. (Badudu, 1984:51).
Selain
novel, ada juga istilah roman dan novelete. Tetapi dalam sastra Sunda istilah
tersebut tidak dibedakan dengan novel. Maksudnya, baik roman maupun novelete,
sama-sama disebut novel saja dalam kesusastraan Sunda (Rahayu, dkk, 1994:171)
Novel
merupakan cerita rekaan yang berbentuk prosa dan isinya menceritakan kehidupan
sehari-hari. Seperti yang diungkapkan oleh Yus Rusyana (1979:7) bahwa novel
adalah gambaran kehidupan dan tingkah laku yang nyata. Menurut J.S. Badudu dalam novel dilukiskan hanya sebagian dari hidup
tokoh cerita, bagian hidup yang mengubah nasibnya. (Badudu, 1984:51).
Novel beraliran realisme, kadang-kadang
naturalisme (Badudu, 1984:51). Kemudian Maryati (1984:7) merumuskan tentang ketentuan
novel ialah:
·
Sebuah cerita (fiksi), bukan uraian ilmu
pengetahuan.
·
Bentuknya prosa.
·
Isinya lebih realistis, kurang fantastis,
penuh kenyataan dan masuk akal.
·
Landasannya segala proses kehidupan
sehari-hari
·
Waktu berlangsungnya kejadian cukup lama
II.
KRITERIA NOVEL
Novel
merupakan karya sastra imajinatif. Oleh karena itu membebaskan penulisnya dari
segala tuntutan data. Sastra imajinatif bebas mengulas bahan apa saja. Ia tidak
terikat pada kenyataan yang sudah terjadi atau sedang terjadi, bahkan kenyataan
yang tak mungkin terjadi dalam kehidupan ini dapat dituangkan dalam karya
sastra imajinatif (Sumadjo, 1984:48). Novel adalah gambaran dari kehidupan dan
perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis (Clara Reeve,
Wellek&Warren 1987:282). Mengingat sebuah novel merupakan kumpulan cerita
maka dengan sendirinya si pengarang berusaha mengungkapkan susunan ceritanya
secara utuh. Karena novel mempunyai tujuan menyampaikan cerita kepada
pembacanya. Sehingga bila dilihat dari segi cerita tampak bahwa novel tersusun
dari sejumlah kejadian (Rusyana, 1979:32). Kejadian-kejadian itu dalam novel
Sunda diurutkan menurut kronologi waktu.
Sebagai pengarang cerita, pengarang novel Sunda telah berusaha membuat
pembacanya ingin tahu akan apa yang terjadi kemudian dan itulah jasa sebuah
cerita (Rusyana, 1979:110).
Berdasarkan
hal tersebut, maka pengarang berusaha menciptakan kepenasaran kepada
pembacanya, sehingga tanpa terasa kita dibawa hanyut oleh jalannya cerita. Kita
seolah-olah ikut mengalami sendiri apa yang diceritakan oleh pengarang, dengan
sendirinya kita akan terus mengikuti cerita tersebut hingga selesai.
Cerita itu
merupakan serangkaian peristiwa yang disunting dalam urutan waktunya. Cerita
merupakan organisme sastra yang paling rendah dan paling sederhana. Namun
cerita itu merupakan unsur yang tertinggi yang umum bagi semua organisme yang
rumit yang dikenal sebagai novel dan tanpa cerita novel tak mungkin ada
(Forster, 1979:30-32).
Novel
sebagai karya sastra tentu saja mempunyai struktur. Gorys Keraf mengatakan
bahwa sesuatu dikatakan mempunyai struktur, bila ia terdiri dari bagian-bagian
yang secara fungsional berhubungan satu sama lainnya (1983:145). Hubungan
tersebut merupakan interelasi antara unsur-unsur pembentuknya (Umar Yunus,
1981:17). Kemudian Dick Hartoko menambahkan: “Yang dimaksud dengan istilah
struktur ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala (1984:36).
Sedangkan menurut Sudjiman “Tata hubungan antara bagian-bagian suatu karya
sastra: jadi kebulatannya” (Sudjiman, 1986:72).
Analisis
terhadap novel ini berdasarkan pada segi intrinsiknya yang dibatasi pada
masalah alur, latar, perwatakan, penokohan, tema dan amanat.
A. Alur
Alur
berfungsi menjalin cerita secara utuh dari permulaan sampai akhir. Menurut Dick
Hartoko yang dimaksud alur ialah kontruksi yang dibuat pembaca mengenai deretan
peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang
diakibatkan atau dialami oleh para pelaku (Hartoko, 1985:149).
Jadi yang
disebut alur adalah serentetan kejadian yang ada sangkut pautnya dari satu
kejadian dengan kejadian yang lainnya yang merupakan sebab akibat. Sumardjo
mengatakan bahwa fiksi dimulai dengan menceritakan suatu keadaan, keadaan itu
mengalami perkembangan dan pada akhirnya ditutup dengan sebuah penyelesaian.
Jadi pola cerita selalu: perkenalan-keadaan-pekembangan-penutup. Itulah yang
disebut pola alur. Menurut Yus Rusyana (1979:110) “Alur adalah kisah
peristiwa-peristiwa, tetapi peristiwa-peristiwa itu telah disusun dalam
struktur sebab akibat. Hubungan antar peristiwa bukan hanya urutan waktu
seperti dalam cerita, melainkan juga menurut logika” di dalam alur biasanya
peristiwa-peristiwa itu menimbulkan konflik. Konflik dalam novel Sunda ada dua
macam, yaitu konflik luar dan konflik dalam. Konflik luar ialah pertentangan
antara seseorang dengan kekuatan di luar dirinya, berupa alam, pribadi lain,
dan masyarakat. Sedangkan konflik dalam yaitu pertentangan yang terjadi dalam
diri seseorang (Rusyana, 1979:120).
Kesimpulannya
alur adalah rangkaian peristiwa berdasarkan sebab akibat yang terjadi secara
logik kemudian mengakibatkan adanya konflik dalam cerita tersebut. “Alur yang
baik ialah alur yang dapat mengungkapkan tema dan amanat dari
peristiwa-peristiwa serta adanya hubungan kausalitas (sebab akibat) yang wajar
antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain (Esten, 1984:26).
B. Latar
Latar atau
yang lebih dikenal dengan setting adalah tempat dan masa terjadinya
cerita (Sumardjo, 1984:69). Kemudian Rene Wellek dan Austin Warren mengemukakan
bahwa latar adalah tempat terjadinya peristiwa, yang menciptakan suasana
tertentu dalam suatu cerita serta mempunyai hubungan yang erat dengan waktu.
Adanya unsur waktu ini yang membedakan antara narasi dengan deskripsi literer
(Wellek dan Warren, 1977:87).
Unsur prosa cerita yang disebut latar
ini menyangkut tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial dan bahkan
kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang tempat kisah itu berlangsung.
Daftar ini kadang-kadang dikemukakan secara tersurat oleh pengarangnya sebelum
ia menuturkan ceritanya. Akan tetapi ada juga pengarang yang baru memunculkan
latar ceritanya setelah perkembangan kisahnya cukup lama. Latar pada sebuah
novel kadang-kadang tidak berubah sepanjang ceritanya, meski kadangkala dalam
beberapa novel lain berubah-ubah dan bahkan kontras satu sama lain. (Bernadus,
1988:70).
Latar
terbagi menjadi tiga, yaitu:
·
Waktu
Menurut Gorys Keraf, “Suatu tindak-tanduk selalu terjadi dalam waktu.
Gerak laju suatu peristiwa selalu dihitung dari suatu titik waktu tertentu
menuju ke suatu titik waktu yang lain. Gerakan waktu harus diartikan sebagai
suatu laju dari awal kejadian sampai suatu peristiwa berakhir (1985:169-170).
Setiap novel berusaha dengan jelas melukiskan kapan seluruh peristiwa
dalam cerita itu berlangsung. Sebab dengan melukiskan waktu di dalam cerita
tersebut, maka si pembaca dapat menebak kapan waktu peristiwa dalam cerita itu
terjadi.
·
Tempat
Menurut Rusyana (1979:146) “Di samping memberikan gambaran waktu
peristiwa, novel-novel Sunda menyajikan pula gambaran tempat peristiwa”.
Latar tempat sama pentingnya dengan latar waktu. Latar tempat selain
menjelaskan tempat kejadian, juga memberikan kesan seperti dalam kenyataannya.
Tentunya sebelum si pengarang menuangkan ceritanya dalam sebuah buku dia harus
mengetahui keadaan latar tempat yang dipakai sebagai objek ceritanya.
·
Suasana
Setiap karya fiksi ditulis dengan maksud tertentu. Maksud pengarang ini
tidak hanya tercermin dalam tema saja, tetapi juga dalam suasana cerita.
Suasana cerita membantu menegaskan tema (Sumardjo, 1984:61).
Pada umumnya suasana dalam sebuah cerita fiksi dibentuk bersama
pelukisan tokoh utamanya. Pengarang memakai tokoh utama untuk mengendalikan
cerita, agar pembaca dapat mengikuti suasana yang ditimbulkan oleh cerita itu.
Dengan demikian pembaca akan dibawa hanyut oleh jalannya cerita.
Maka kesimpulannya adalah, latar itu
merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam suatu cerita, karena latar
tidak bisa dipisahkan dari unsur-unsur lainnya di dalam membentuk suatu
keutuhan strukturnya. Latar hadir bersama peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
tokoh-tokohnya. Maka ketiga jenis latar itu (waktu, tempat dan suasana), dalam
sebuah cerita tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, sebab ketiga
jenis latar itu akan menunjang satu dengan lainnya.
C.
Perwatakan
Sebuah novel selalu menunjukkan
perwatakan. Daya tarik sebuah novel terpancar lewat imajinasi kreatif si
pengarang. Lewat imajinasi pengarang itulah, pembaca dapat berkenalan dengan
sejumlah variasi tipe manusia berikut permasalahannya. (Bernadus, 1988:70)
Seseorang yang membaca novel biasanya
tertarik akan persepsi, penafsiran, dan pemahaman tokoh-tokoh yang dihadirkan
pengarang.
D. Tokoh dan Penokohan
1. Tokoh
Sebuah cerita terbentuk karena ada pelaku ceritanya (Sumardjo, 1984:56):
Pelaku yang penulis maksud adalah pelaku dalam sebuah cerita, karena melalui
pelaku inilah kita akan mengikuti cerita hingga selesai. Gorys Keraf (1985:164)
menjelaskan, karakter-karakter adalah tokoh-tokoh dalam sebuah narasi:
Yus Rusyana (1979:128) menjelaskan: “Pelaku dalam sebuah cerita dapat
dibedakan bedasarkan peranannya, yaitu atas pelaku utama, pelaku pelengkap dan
pelaku figuran”.
Di dalam sebuah karya sastra (novel) kehadiran tokoh memegang peranan
penting. Karena tokoh merupakan sarana penting bagi pengarang di dalam menjalin
peristiwa-peristiwa serta mengerahkan jalan cerita menuju suatu tujuan.
Kehadiran tokoh selalu diikuti penampilan watak tokoh. Tarigan berpendapat
bahwa tokoh dan alur berhubungan erat satu sama lain (1984:148).
2. Penokohan
Penokohan ialah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak
tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan (Esten, 1984:27). Perwatakan
(karakterisasi) dalam pengisahan dapat diperoleh dengan usaha memberi gambaran
mengenai tindak-tanduk dan ucapan-ucapan tokohnya (pendukung karakter), sejalan
tidaknya kata dan perbuatan, Gorys Keraf (1985:164)
Cara yang paling sederhana dalam melakukan penokohan ialah dengan memberi
nama kepada pelaku (Wellek dan Warren, 1979:86). Rusyana menambahkan “Cara lain
melakukan penokohan adalah dalam bentuk percakapan antar pelaku, tindak-tanduk
pelaku, pernyataan pelaku lain” (1979:131). Menurut Sumardjo (1984:57) “Untuk
mengenal watak seseorang tokoh cerita kita dapat meneliti: apa yang
dilakukannya, apa yang dikatakannya, apa sikapnya dalam menghadapi persoalan,
dan bagaimana penilaian tokoh lain atas dirinya, pemerian.” Untuk mengetahui
watak seorang tokoh kita dapat meneliti dari tingkah lakunya, caranya
berbicara, pernyataan lain atas dirinya. “bahwa di dalam penokohan dapat
dilakukan dengan cara: penamaan, pemerian, percakapan dialog dan monolog,
pernyataan tokoh lain, dan tingkah laku tokoh. Bila hal itu sudah kita ketahui,
maka tentunya kita sudah dapat menebak watak tokoh itu dalam cerita yang kita
baca.
E. Tema
Tema adalah
pokok perbincangan dalam sebuah cerita (Sumardjo, 1984:57). Tema adalah pokok
perbincangan perilaku atau gerakan yang mendasari atau pokok umum, dan berkenaan
dengan pokok tersebut cerita yang bersangkutan merupakan sebuah ilustrasinya.
Tema merupakan
pokok perbincangan perilaku atau gerakan yang mendasari pokok perbincangan
perilaku atau gerakan yang mendasari sebuah cerita. Dalam novel terdapat pokok
perbincangan yang mendasari peristiwa-peristiwa secara keseluruhan.
Tarigan
(1984:125) mengatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam sebuah
cerita. Suatu cerita yang tak mempunyai tema tentu tak ada guna dan artinya.
Walaupun misalnya pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara
eksplisit, hal itu harus dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah
selesai membacanya.
Tema merupakan unsur yang paling penting dalam sebuah cerita, sebab bila
cerita tidak memiliki tema maka cerita tersebut tidak ada artinya.
F. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra: pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra
modern amanat ini biasanya tersirat: di dalam karya sastra lama pada umumnya
amanat tersurat (Sudjiman, 1986:5). Menurut Syofyan Z. dan Ny. Suari S.
(1981:2): “Setiap karya sastra berisi pokok pembicaraan, masalah atau tema dan
pendapat pengarang tentang masalah tersebut. Pendapat ini merupakan pesan atau
amanat yang tersembunyi. Makin penting atau makin besar masalah tersebut, maka
makin jelas dan kuat amanat atau pesan pengarang”.
Amanat merupakan pokok pembicaraan atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembacanya. Di dalam amanat kita dapat melihat pandangan
hidup, gagasan dan cita-cita pengarang. Kemudian Esten menambahkan: “Amanat
adalah pemecahan suatu tema. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit
(berterang-terangan) dan dapat juga secara implisit (tersirat). Bahkan ada
amanat yang tidak Nampak sama sekali. Umumnya ciptasastra modern memiliki
amanat secara implisit” (Esten, 1984:22).
Bila dibandingkan dengan tema, amanat sifatnya lebih sederhana karena
amanat merupakan pemecahan suatu tema. Amanat sering juga disebut tema
pelengkap sedangkan tema adalah tema utama. Untuk mencari amanat sebuah hasil
karya sastra modern tidaklah gampang, tidak seperti hasil karya sastra lama
karena pengarang berusaha dengan jelas menyampaikan gagasan pikirannya melalui
permasalahan yang tidak begitu sulit.
III. KELAHIRAN NOVEL
1.
Selintas
Perkembangan Sastra Sunda Sampai Dengan Novel
Sejak
awal abad ke-20, timbul karya sastra daerah yang ditulis dengan bahasa daerah
(bahasa ibu) oleh sastrawan muda daerah, lebih-lebih sastra Sunda (Pradopo,
dalam Hudayat, 2012:vii). Kemudian Rachmat Djoko Pradopo berujar lagi, “Sastra
daerah tersebut merupakan sambungan sastra daerah sebelumnya meskipun ditulis
dengan genre (jenis sastra) baru, (Pradopo, dalam Hudayat, 2012:vii).
Bentuk
novel dalam dunia kesusastraan Sunda mulai dikenal setelah mendapat pengaruh
dari kesusastraan Barat. Sejak dikenalnya novel tersebut, perkembangannya cukup
pesat, terbukti dengan cukup banyaknya penerbitan karya sastra dalam bentuk
ini. Baik yang diterbitkan berupa buku maupun dalam majalah dan surat kabar
berbahasa Sunda.
Sejarah
sastra Sunda mencatat bahwa simbol kebaruan masyarakat Sunda salah satunya
direpresentasikan melalui genre baru tradisi penulisan karya sastra berbentuk
novel (Hudayat, 2012:4).
Novel
yang pertama dalam sastra Sunda adalah Baruang
ka nu Ngarora karangan Daeng Kanduruan Ardiwinata (D.K. Ardiwinata), terbit
pada tahun 1914. Apabila dibandingkan dengan novel pertama dalam sastra
Indonesia, Azab dan Sengsara karangan
Merari Siregar, yang baru terbit pada tahun 1920, maka novel dalam sastra Sunda
lebih dahulu terbit sekitar enam tahun. (Rahayu,
dkk, 1994:171).
Maka dapat disimpulkan bahwa
kesusastraan Sunda lebih dahulu mengenal novel, dan kurang pas apabila
novel di sastra Sunda disebutkan merupakan pengaruh dari sastra Indonesia. (Rahayu, dkk, 1994:171).
2.
Sekilas
Meninjau Perkembangan Sastra Sunda Sampai Dengan Lahirnya Bentuk Novel
(Yus
Rusyana, 1979:vx) bahwa sebagai pertambahan karya baru, sejak kelahiran dan
perkembangannya merupakan suatu keseluruhan yang berkembang. Perkembangannya
pada satu pihak bertautan dengan tradisi sastra Sunda sebelumnya, dan pada
pihak lain merupakan karya pembaharuan yang bersuasanakan kenalaran. Adapun
yang dimaksud dengan karya pembaharuan yang bersuasanakan kenalaran, karena
karya sastra sebelumnya atau terdahulu selalu berfokus pada ketahayulan,
misalnya kepercayaan pada kesaktian, keajaiban, alam super natural, dan
kegaiban. Sedangkan karya sastra dewasa ini sudah beralih ke alam kenyataan.
Khasanah
kesusastraan Sunda sangat kaya akan bentuk, seperti juga dengan kesusastraan- kesusastraan
lain, sejarah kesusastraan Sunda dimulai dengan kesusastraan lisan (Ajip
Rosidi, 1966:1), yang diawali oleh lahirnya cerita dongeng dan pantun yang
diperkirakan lahir dalam kurun waktu yang sama. Pada tahun 1518 cerita pantun
sudah dikenal dan berkembang. Dalam cerita pantun digambarkan manusia yang gedé haté lébér wawanén (gagah berani),
isinya menceritakan raja-raja Padjadjaran dan sebelumnya (Yus Rusyana,
1981:80).
Menurut
periodisasi sastra Sunda yang dikemukakan oleh Yus Rusyana, pada periode
lahirnya pantun ini sejajar pula dengan dikenalnya mantra, kakawihan, dan
sawer. Baik pantun, mantra, kakawihan, maupun sawer, keseluruhannya tersaji
dalam bentuk puisi yang sudah menjadi ciri sastra Sunda lama (Yus Rusyana,
1969:9-10).
Bentuk
syair yang berasal dari pengaruh Arab dengan masuknya Islam ke Jawa Barat,
mulai dikenal pada tahun 1552. Bentuk syair tersebut sering kita jumpai
dinyanyikan orang dalam upacara sawer, pupujian, dan sebagainya (Ajip Rosidi,
1966:10). Sawer adalah suatu upacara adat yang umum di daerah Sunda untuk
mendoakan keselamatan dan keberuntungan bayi yang baru lahir, anak yang baru
disunat, atau lebih dikenal lagi sawer pada orang yang baru menikah. Sedangkan
pupujian adalah nyanyian untuk memuja Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Dalam
syair pupujian banyak sekali terdapat kata-kata Arab. Pupujian baru dikenal
orang setelah adanya Islam.
Pada
pertengahan abad ke-17 datang pengaruh dari kesusastraan Jawa yang melahirkan
bentuk wawacan yang mencapai puncaknya pada abad ke-19. Cerita wawacan sering
kali melukiskan kebesaran, kesaktian, kepintaran, keagungan, kebijaksanan para
raja dan para putra raja serta pejabat kerajaan. Juga para pendeta atau para
kiai (Ajip Rosidi, 1966:12).
Setelah
itu sampai awal abad ke-19 kesusastraan Sunda belum memperoleh bentuk karya
sastra yang baru lagi, tetapi karya sastra yang telah ada tersebut terus
mengalami perkembangan.
Kesusastraan
Sunda semakin diperkaya oleh datangnya pengaruh dari Barat pada abad ke-19.
Berdirinya Balai Pustaka ternyata merupakan peristiwa penting bagi perkembangan
sastra Sunda pada awal abad ke-20 (Maryati, 1984:2), karena turut
membantu memperkaya khasanah sastra Sunda dalam berbagai segi. Di antaranya
telah tumbuh karya sastra dalam bentuk dan kreasi baru, banyak karya-karya
terjemahan serta semakin suburnya para penulis baru yang turut mendukung
perkembangan kesusastraan Sunda.
Dalam
buku Galuring Sastra Sunda karya Yus
Rusyana, dijelaskan bahwa novel keluar sekitar Mangsa Kaopat, yaitu sekitar
tahun 1900-1945 Masehi. Itu juga dikarenakan adanya persentuhan dengan budaya
Barat lebih intensif (Rusyana, 1969:25-28). Hasil sastra modern pada abad ke-20
antara lain ditandai oleh bentuk novel. Novel Baruang Ka Nu Ngarora karangan
D.K. Ardiwinata yang diterbitkan pada tahun 1914 dianggap sebagai novel Sunda
pertama (Yus Rusyana, 1979:1).
Kelahiran
novel antara lain dipengaruhi juga oleh tuntutan masyarakatnya. Sebagai salah
satu hasil karya sastra Sunda modern yang cukup penting, novel adalah hasil
pembaharuan yang dijalankan dalam sastra Sunda.
Pengaruh
dari sastra Barat lainnya adalah cerpen. Pada tahun 1930, terbit sebuah
kumpulan cerpen dalam bahasa Sunda yang pertama yaitu Dogdog Pangréwong yang bersembunyi di belakang inisial G.S. (Ajip
Rosidi, 1966:102)
Bentuk
puisi yang telah mendapat pengaruh dari sastra Barat adalah sajak bebas, banyak
dimuat di majalah dan di antaranya ada yang telah dibukukan, seperti karangan
Sayudi yang berjudul Lalaki di Tegal
Pati, karangan Yus Rusyana yang berjudul Nu Mahal ti Batan Inten, karangan Ajip Rosidi yang berjudul Janté Arkidam, dan sebagainya.
Dalam
kesusastraan Sunda dikenal pula adanya drama dalam bentuk sandiwara, wayang
golek, reog, longser, gending karesmen, dan sebagainya. Longer adalah semacam
teater arena yang sangat sederhana, dan gending karesmen adalah opera
bernafaskan Sunda.
Novel
merupakan hasil cipta sastra pada periode terakhir yang mendapat pengaruh dari
Barat (Yus Rusyana, 1969:26). Bila ditinjau dari usianya, dapat dikatakan masih
muda, karena diperkirakan baru dikenal pada awal abad ke-20. Walaupun demikian,
kehadirannya cukup penting dalam memperkaya kesusastraan Sunda yang sudah ada
sebelumnya.
IV. PEMBAGIAN
NOVEL
1. Novel Anak
Novel
anak adalah novel yang ditujukan untuk bacaan anak-anak. Masalah yang
diceritakannya adalah masalah-masalah yang dekat kaitannya dengan kehidupan
anak-anak pada umumnya. Begitu juga cara menghadapinya dan menyelesaikan suatu
masalah, selalu sama dengan pikiran dan jiwa anak-anak. Pelaku utamanya juga
anak-anak.
Novel Anak beserta
pengarangnya dalam sastra Sunda, di antaranya:
·
Samsudi:
Budak Teuneung, Budak Minggat
·
Tatang
Sumarsono: Miang jeung Kaludeng, Si
Paser.
·
Hidayat
Soesanto: Guha Karang Legok Pari, Bima
Rengkung, jeung seri carita wayang tina Mahabarata
·
Ahmad
Bakri: Nu Sengit Dipulang Asih.
·
Aan
Merdeka Permana: Tanah Angar di Sebambam,
Kedok Tangkorék, Andar-andar Pangandaran, Paul di Pananjung Paul di Batukaras.
·
Adang
S.: Budak Calakan, Néangan Bapa, Dang Umar ti Situraja.
2.
Novel Remaja
Novel
remaja adalah novel yang isinya menceritakan masalah-masalah remaja. Begitu
juga pelaku utamanya adalah para remaja. Di sastra Sunda novel remaja tidak
terlalu banyak.
Novel remaja beserta
pengarangnya dalam sastra Sunda, di antaranya:
·
Dedi
D. Iskandar: Cinta Pabeulit.
·
Yoseph
Iskandar: Rini.
·
Aam
Amalia: Lalangsé.
3.
Novel Dewasa
Novel
dewasa tentu ditujukan untuk bacaan orang yang telah dewasa. Isinya
menceritakan masalah orang-orang yang sudah dewasa. Begitu juga dengan pelaku
utamanya. Dalam sebagian novel ada bagian-bagian yang kurang pas apabila dibaca
oleh anak-anak.
Novel dewasa beserta
pengarangnya dalam sastra Sunda, di antaranya
·
Yuhana
jeung Sukria: Rusiah nu Goréng Patut.
·
Moh.
Ambri: Lain Éta.
·
Ahmad
Bakri: Asmaramurka, Bedog Si Rajapati.
Berdasarkan
tema dan masalah yang diceritakannya, novel Sunda bisa dibagi-bagi menjadi:
a. Novel
Silihasih
Novel silihasih adalah novel yang
menceritakan cinta asmara para pelaku utamanya. Contoh:
·
Moh.
Ambri: Lain Éta.
·
Eddy
D. Iskandar: Cinta Pabaliut.
·
Aam
Amalia: Lalangsé.
·
Abdullah
Mustapa: Mikung.
·
Syarif
Amin: Manéhna.
b. Novel
Kulawarga
Novel rumah tangga adalah novel yang
isinya menceritakan masalah keluarga pelaku utamanya. Contoh:
·
R.A.F.:
Pipisahan.
·
Aam
Amalia: Puputon.
c. Novel
sosial
Novel sosial adalah novel yang isinya
menceritakan masalah sosial, seperti ketidakadilan, atau gejolak sosial dalam
satu waktu. Pelaku bisa menjadi berupa subyek, korban, atau saksi keadaan
tersebut. Contoh:
·
Abdullah
Mustapa: Lembur Singkur.
d. Novel
misteri
Novel misteri adalah novel yang isinya
menceritakan hal-hal yang mengandung rahasia, yang biasanya terungkap di bagian
akhir novel tersebut. Terutama yang menceritakan pencarian pelaku pembunuhan
atau pelaku kejahatan lainnya. Contoh:
·
Samsu
(Sambas jeung Susaka): Laleur Bodas.
·
Ki
Umbara: Si Bedog Panjang.
·
Ahmad
Bakri: Mayit dina Dahan Jéngkol, Rajapati
di Pananjung, Bedog Si Rajapati.
·
Margasulaksana:
Rusiah Geulang Rantay.
·
Anna
Mustikaati: Kalajengking.
e. Novel
sajarah
Novel sejarah adalah novel yang isinya
mengandung unsur-unsur sejarah. Baik pelaku utamanya maupun kejadiannya
menyangkut ke sejarah. Contoh:
·
R.
Memed Sastrahadiprawira: Pangeran Kornél,
Mantri Jero.
·
Yoseph
Iskandar: Perang Bubat, Tanjeur di
Juritan Jaya di Buana, Putri Subanglarang.
f. Novel
jiwa
Novel jiwa adalah novel yang isinya
menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan jiwa pelaku utamanya. Contoh:
·
Ningtun
Julaeha: Arca.
V. PENGARANG NOVEL DAN KARYA-KARYANYA
1.
D.K.
Ardiwinata: Baruang ka nu Ngarora.
2.
Joehana
(sandiasma Ahmad Basyah): Carios Eulis
Acis, Carios Agan Permas, Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama, Kasuat ku Duriat,
Mugiri, Néng Yaya, Rusiah nu Goréng Patut (jeung Sukria).
3.
R.
Memed Sastrahadiprawira: Mantri Jero,
Pangeran Kornél, Tresnasena jeung Nyi
Putri Sedihasih (rekaan tina novel basa Walanda, De Roman van Tristan en Isolde).
4.
Muhammad
Ambri: Lain Eta, Numbuk di Sué, Munjung,
Ngawadalkeun Nyawa, Burak Siluman, Pusaka Ratu Teluh, Pependeman Nabi Sulaéman
(tarjamahan tina basa Inggris King
Solomon’s Mine karya Rider Haggard), Si
Kabayan Jadi Dukun.
5.
Muhammad
Sanusi: Siti Rayati, Sari Fatimah,
Dibélaan Pegat Nyawa.
6.
Samsu
(Sambas jeung Susangka): Laleur Bodas.
7.
Margasulaksana
(sandiasma R. Iting Partadiredja): Diarah
Pati, Rusiah Geulang Rantay.
8.
M.A.
Salmun: Gogoda ka nu Ngarora.
9.
Yus
Rusamsi: Randa Béngsrat, Dédéh, Wilujeng
Enjing.
10. Ki Umbara: Si Bedog Panjang, Si Lamsijan Kaédanan.
11. Ahmad Bakri: Nu Sengit Dipulang Asih, Payung Butut,
Juragan Batik, Potrét, Rajapati di Pananjung, Mayit dina Dahan Jéngkol,
Kabandang ka Kuda Lumping, Srangéngé Surup Mantén, Sanghiang Lutung Kasarung,
Asmaramurka, Bedog Si Rajapati.
12. Syarif Amin: Manehna, Nyi Haji Saonah, Kembang Patapan,
Babu Kajajadén.
13. R.A.F.: Pipisahan, Béntang Lapang, Nu Kaul Lagu
Kaléon.
14. Min Resmana: Néangan Bapa, Imah nu Réa Kamarna.
15. Aam Amalia: Puputon, Buron, Samagaha, Asmara Ngambah
Sagara, Lalangsé, Kalajengking (sandiasma Anna Mustikaati).
16. Abdullah Mustapa: Mikung, Lembur Singkur.
17. Eddy D. Iskandar: Cinta Pabaliut.
18. Yoseph Iskandar: Rini, Perang Bubat, Tanjeur di Juritan Jaya
di Buana, Putri Subanglarang.
19. Adang S.: Ngepung Kahar Muzakar, Juragan Kabayan, Budak
Calakan, Néangan Bapa, Dang Umar ti Situraja.
20. Ningrum Julaeha: Arca, Halimun Mungkur.
21. Usep Romli HM: Béntang Pesantrén.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1984. Sari Kesusastraan Indonesia 2. Bandung: CV. Pustaka Prima.Budiarti, Rani M. 1987. “Analisis Struktur Novel Potret Karya Ahmad Bakri”. Skripsi. Bandung: Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Garnati, Tantri. 1989. “Tokoh-tokoh Utama Wanita Dalam Delapan Novelet Karya Aam Amalia”. Skripsi. Bandung: Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Hudayat, Asep Yusuf. 2012. Novel Sunda dalam Jaring Estetika Suara-Suara Kelas. Bandung: Syabas Books.
Rahayu, Budi, dkk. 1994. Pangajaran Sastra Sunda. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Rahmanto, Bernadus. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rusyana, Yus. 1969. Galuring Sastra Sunda. Bandung: Gununglarang.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1987. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT GRAMEDIA.
http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/01/novel-dalam-kesusastraan-sunda.html
Jatinangor, Rabu, 02 Januari 2013
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad
Keren kang :)
ReplyDeleteSiiip, nuhun😁
DeleteAda kunci jawabannya gak?
ReplyDeleteMaksudnya bagaimana, Kak?
DeleteBangsa yang membawa novel masuk ke sastra Sunda bangsa apa ya??
ReplyDeleteNovel pertama di Indonesia adalah novel Baruang ka nu Ngarora berbahasa Sunda. Muatan isi di dalamnya kental sekali dengan nuansa kolonial Belanda. Secara singkat, kesusastraan Sunda mengenal novel di masa pendudukan Belanda di Indonesia jika dilihat dari tahun di mana novel pertama itu lahir; 1914.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteSae pisan kang 👍👍👍
ReplyDeletewel
ReplyDeleteMantap kang
ReplyDeleteAlus pisan mang👍👍
ReplyDelete