13 May 2020

@historyofpersib: Milangkala 87 Tahun Persib Bandung

Kecintaan Tanpa Pamrih Ini Hanya Sebuah Angka
Rizki Sanjaya

(Sampul: @historyofpersib - Milangkala 87 Tahun Persib Bandung)

Mencintai adalah hak bagi seluruh makhluk yang masih hidup. Setiap makhluk yang bernyawa tentu berhak untuk mencintai dan menyatakan ikrar cintanya. Baik secara tersurat maupun tersirat. Selama nafas dan pikirannya masih tetap terjaga.
Mencintai adalah cara menaruh kasih sayang. Sedang objek yang dicintai, tentu tak berbatas pada makhluk yang hidup saja. Semua hal tentu dapat kita cintai, sifatnya tak berbatas ruang dan waktu, menembus dinding dimensi tempat di mana kita hidup saat ini.
Tentu sah saja jika kita tetap mencintai orang yang telah mati, baik yang pernah kita kenal bahkan tidak. Lebih absurd lagi, bukan hanya yang pernah kita ketahui wujudnya, mencintai sesuatu yang masih dalam benak dan khayal sekalipun, tak ada larangan dan batasan hukum yang mengikatnya.
Sebagai sebuah klub sepakbola, Persib telah jauh melampaui bab tentang cinta. Sebuah cinta yang tak bisa dimiliki oleh seseorang saja. Semakin banyak yang mencintai, semakin tenang hati ini. Karena cinta ini memang tercipta untuk dimiliki bersama. Cinta yang dimiliki oleh rakyat sebagai simbol dan alat juang.
Persib yang melegitimasikan dirinya berdiri pada 14 Maret 1933, hanyalah tim sepakbola yang dilahirkan di tempat dengan jumlah populasi manusia yang masih sedikit saja pada waktu itu. Hal ini lebih dikarenakan, Kota Bandung pada masa lalu hanyalah sebuah telaga yang dikelilingi oleh pegunungan yang lama kelamaan volume airnya berkurang dan mengering.
Sebuah buku berjudul Gementee Bandoeng yang terbit pada masa pemerintahan kolonial Belanda memuat sebuah data sensus penduduk di masa pemerintahannya pada tahun 1919. Dijelaskan dalam sebuah tabel bahwa pada tahun 1919 Kota Bandung hanya didiami oleh 7900 orang saja, itu pun Europeanen, tidak diceritakan tentang orang lokal pada saat itu. Loncat ke tahun 1931, di mana adalah tahun yang paling dekat dengan tanggal didirikannya Persib, per 1 Januari 1931 dijelaskan ada peningkatan signifikan terkait orang-orang yang mendiami Kota Bandung, pada tahun ini sudah ada orang-orang yang dikategorikan pribumi oleh pemerintahan kolonial pada saat itu, berikut jumlah populasinya: 19.327 bangsa Europeanen, 16.690 bangsa Chineezen, dan 129.871 Inlanders (sebutan olok-olok kolonial terhadap orang lokal).
Melihat dari data di atas, tentunya ada peningkatan yang sangat signifikan terhadap populasi penduduk di Kota Bandung pada masa kini. Menurut data yang dihimpun dari Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011, Kota Bandung didiami oleh 2.536.649 orang, bahkan jika dihitung dengan kategori Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi) jumlahnya menginjak 8.670.501 penduduk. Sebuah jumlah yang fantastis untuk gambaran kasar besarnya potensi dari wilayah Bandung Raya ini.
Namun semua data tersebut hanyalah angka. Tentu cinta tak melulu soal matematika. Bahkan harusnya ilmu tentang bilangan itu kita kesampingkan saja dalam praktik cinta. Akan menjadi pamrih tentunya jika kita berbicara matematika terhadap cinta. Namun lain dulu, lain sekarang. Begitu pun bentuk dan penilaian cinta kita terhadap Persib, sekarang semuanya serba matematika.
Dasarnya tentu saja karena Persib kini sudah tidak dibiayai lagi oleh anggaran pendapatan daerah. Persib yang kini pengelolaannya di bawah PT. Persib Bandung Bermartabat –selanjutnya PT. PBB– telah menobatkan dirinya menjadi sebuah perusahaan yang mandiri dalam pembiayaan. Hal ini tentu saja membuat Persib harus terus berpikir maju ke depan, karena diam sebentar saja tentu akan membuat namanya tenggelam di pasaran.
Beruntung sekali Persib dilahirkan di Kota Bandung, kota yang menjadi ibu kota provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia. Selain kelebihan itu, lagi-lagi Persib beruntung lahir di Provinsi Jawa Barat, di mana hanya ada satu klub yang sangat dominan berdiri tegak selama 76 tahun lamanya pada saat PT. PBB resmi berdiri. Belum lagi aspek kegemilangan prestasi Persib di era sebelum 2009, 5 kali menjadi yang terbaik dalam gelaran Piala Perserikatan dan 1 kali menjadi kampiun di Liga Indonesia adalah prestasi yang hanya sedikit sekali klub bisa menyamainya.
Lagi-lagi keberuntungan membayangi PT. PBB sebagai pemilik sah klub Persib, selain ditunjang aspek historis, Persib pun memiliki aset yang tentunya adalah berkah dan karunia terhadap Persib itu sendiri. Sulit untuk menakar sejauh mana kecintaan rerata bobotoh Persib terhadap klub yang dicintainya. Jangankan untuk membuat rataannya, bahkan tidak ada sumber terpercaya berisi sensus yang bisa memuat jumlah bobotoh Persib secara menyeluruh. Sebagai gambaran, coba sedikit bayangkan, ketika jutaan orang memiliki beragam cara dalam penyampaian rasa cintanya. Ketika berbicara sumber data, cukup lemparkan saja hasil sensus penduduk terbaru, bandingkan juga dengan rata-rata rating ketika Persib siaran langsung di televisi. Kiranya dari hasil mentah tersebut bisa memberi gambaran jika jumlah bobotoh Persib itu memang benar ada di angka jutaan.
Tak sedikit dari jutaan bobotoh Persib tersebut mengambil sisi paling ekstrem dalam hidup, yakni ikrar Persib sampai mati. Sebuah pakem yang paling diyakini dan dijunjung tinggi oleh orang-orang yang terlalu mencintainya. Satu ikrar yang akan menemani hidup mereka selama puluhan tahun bahkan hingga senja di akhir usia nampak. Namun meski ikrarnya sama, pada hakikatnya ikrar tersebut tak bisa diseragamkan bobot takarannya. Semakin orang tersebut bertahan, akan semakin terlihat jelas konsistensi dan kecintaan mereka terhadap Persib. Sebuah pengorbanan panjang yang melibatkan keteguhan hati.
Kecintaan terhadap Persib tentu bukan hanya buah bibir semata. Di usia yang kini menginjak 87 tahun, rasanya Persib hampir mencapai semua tujuan dan harapannya. Karena acuan sebuah klub sepakbola hanya berbatas pada kecintaan dan prestasi yang diraihnya. Bahkan prestasi saya rasa hanya nomor kesekian, karena sudah berapa kali Persib mengulang puasa gelarnya yang berlangsung bertahun-tahun, namun kecintaan bobotoh pada benda mati ini tak pernah ada kedaluwarsanya.
Angka 87 tahun bukanlah waktu sebentar bagi sebuah klub sepakbola. Tak sedikit kita mendengar sebuah klub sepakbola bubar, bahkan dibubarkan. Alasannya entah karena masalah finansial, penjajahan, perang, bahkan diberangus rezim. Tapi Persib selalu bisa bangkit bahkan memaknai zaman. Nyatanya Persib terus eksis dan kokoh melintasi bias kepemimpinan, bias peristiwa, dan bias kepentingan.
Tak adil jika hanya menyebut keberuntungan dan poin plus yang didapat PT. PBB ketika pertama mengakuisisi kepemilikan dari Persib. Tentu ada keringat dan kerja keras yang tidak sedikit dari para pemilik saham Persib saat ini. Tapi bukankah pada akhirnya semua keuntungan yang didapat adalah untuk kalian dan PT. PBB juga?
Sedikit merawat sejarah, tak bisa dipungkiri bahwa sejak berdirinya Persib hingga satu tahun sebelum berdirinya PT. PBB, Persib terlahir dan berjalan sebagai klub rakyat. Lebih-kurang selama 76 tahun, atau sejak tahun 1933 hingga 2009 rasa memiliki terhadap Persib sangatlah maksimal dirasakan oleh bobotoh. Hal ini menjadi jelas karena Persib di era Perserikatan hingga era Ligina memang dibiayai oleh rakyat. Maka bobotoh pada masa itu tak sedikit pun canggung untuk mengkritik jika dirasa ada hal yang tak wajar. Dan Pemkot Bandung, sebagai yang berperan dalam kepengurusan Persib tentunya memiliki tanggung jawab moril ketika tak mau mendengar kritik dari para pemilik Persib yang sesungguhnya.
Berbanding terbalik dengan saat ini, yang mana Persib dimiliki hanya oleh sebagian orang saja. Bahkan perencanaan, strategi, dan keuntungan yang didapatkannya kini apa boleh buat bobotoh memang tak boleh tahu, karena kita memang bukan siapa-siapa dalam ruang lingkup Persib saat ini. Padahal dulunya, Persib yang coba disisihkan oleh pemerintahan kolonial Belanda karena dianggap berbahaya dan dapat menimbulkan kerumunan Inlanders berkumpul, suaranya sempat coba dipecah dengan sebuah klub tandingan elit bangsawan bernama VBBO. Persib yang sengaja dibuang ke lapangan pinggiran, nyatanya malah membuat dukungan terhadap Persib semakin masif karena basis warga non Europeanen memang banyak tinggal di pinggiran Kota Bandung saat itu.
Tapi sejarah hanyalah sejarah, kita hanya bisa merawatnya dalam ingatan, juga memaknainya dalam tindakan. Boleh saja Persib sekarang pengelolaannya dikelola oleh swasta, yang mana masyarakat memang tidak dilibatkan secara langsung dalam pembiayaan. Namun jangan juga hanya karena Persib pengelolaannya sudah dipegang oleh sebagian orang, dengan mudah juga mereka seenaknya melepas dan membiaskan sedikit demi sedikit sejarah yang terlampau mengakar di dalam benak dan ingatan orang-orang yang mencintainya.
Jangan tanya apa kontribusi dan bentuk kecintaan bobotoh terhadap Persib saat ini. Selama bobotoh masih dipakai untuk daya tawar dan dicantumkan jumlah rataannya di dalam setiap pengajuan proposal ke sponsor, sejauh itu pula kita sebagai bobotoh harus tetap merasa berperan serta memberi andil terhadap hidup dan eksisnya Persib dan PT. PBB sejauh ini.
Sungguh berbicara matematika terhadap hal yang kita cintai begitu beratnya. Tapi jika praktik hitung-hitungan angka coba ditumbuhkan di era sekarang. Maka jawaban paling logisnya adalah “Kurang-kurangi takaran mendukung Persib. Mulai kesampingkan kemilitanan terkait dukung Persib sampai mati. Perjuangkan kuliah kalian, kerja kalian, keluarga kalian. Persib tak akan menolong kalian!” Tapi percayalah, bobotoh tak sejahat itu. Karena kecintaan bobotoh terhadap Persib tak pernah mengenal istilah pamrih.
Bandung, 12 Maret 2020


Épilog keur Antologi Sajak Sunda Lalayaran Luhureun Heulang

Épilog

Nuding ka Urang Sorangan
ku Rizki Sanjaya


Boa kopi nu ayeuna nyampak di hareupeun arurang téh, baheulana, ti mimiti ayana, ngaliwatan heula rupa-rupa prosés saacan jadi sagelas kopi anu meujeuhna diinum nalika panasna ngurangan. Ulah waka kana ninyuhna, apan saacan jadi sagelas kopi téh ngaliwatan heula sababaraha prosés ti mimiti melak binih, manén, moé, nyangray, nepi ngagiling. Nah palebah bubuk kopi geus sadia, cara ninyuhna gé kiwari mah rupa-rupa. Takaran caina gé sarua, teu sarupa.
Kopi dina mangsa kiwari bisa dijieun sakumaha takaran arurang, sakaresepna. Teu saeutik ogé nu ngaracik éta kopi dicampur ku bahan séjén sarupaning susu, krimer, atawa rupa-rupa sirop rasa bungbuahan. Hasilna tangtu waé jauh jeung sipat asli kopi; pait. Tapi teu matak jadi masalah. Balik deui kana karesepna masing-masing. Malah lamun aya niat nyalusur budayana, apan kiwari téh arurang geus asup kana gelombang kopi nu katilu, Third Wave Coffee téa. Nu mana kopi keur sababaraha jalma geus jadi hiji hal nu dipikacinta, nu dipikaresep, nu teu bisa sagawayah dianggap teu sapira.
Dina taun 1950-an, kasusastraan Sunda perenah geunjleung ku hiji rupa karya wanda anyar nu sarupa jeung puisi, tapi da puguh aya bédana. Rupana mah teu béda jauh, sami-sami dieusian ku rupa-rupa kekecapan dina unggal padalisan. Ngan ieu puisi modél anyar téh geuning teu boga struktur nu puguh dina cara nulisna. Teu pati mentingkeun wirahma, ogé murwakantina. Teu miboga guru lagu jeung guru wilangan cara dangding anu leuwih heula ayana. Najan kitu, sigana sadayana gé bakal sapuk, lamun ieu puisi modél anyar téh jadi salah sahiji karya anu paling dipikameumeut ku urang Sunda nepi kiwari, utamana barudak ngarora. Ieu puisi modél anyar téh dingaranan sajak.
Basa mimitian sajak ramé, ieu puisi téh teu kitu waé ditarima ku bangsa arurang. Bakat loba pisan nu mikaresep, sajak nu kaitung gumelarna leuwih ngora dibanding dangding, perenah jadi hiji polémik nu teu sakeudeung dina mangsa harita. Cukang lantaranna mah pédah disebut bisa ngarusak kaéndahan dangding téa. Padahal pédah dimimitianana sajak ramé, sawatara pangarang anu keukeuh nyebut dangding téh leuwih alus batan sajak, malah jadi leuwih produktip deui nulis dangdingna. Ieu jadi ciri lamun sajak jeung dangding téh silih tulungan keur hirup-huripna. Silih tulungan ogé keur kamekaran kasusastraan Sunda.
Nyarita ngeunaan polémik sajak téh bisa panjang pisan. Malah ceuk Ajip Rosidi dina Bébér Layar mah apan ngeunaan sajak jeung dangding téh geus loba nu narulis jeung nu maséakeunana. Salah sahiji aktor nu madungdengkeun sajak jeung dangding téh Wahyu Wibisana, jeung tokoh jieunanana kénéh Juju Yuliati, anu harita nyéépkeun mangjilid-jilid édisi majalah Warga. Ti batan maséakeun hal nu teu produktip, sajak kuduna jadi hiji sumanget keur barudak ngarora sangkan daék ngamimitian nyieun karya sastra. Apan ceuk Ajip kénéh waé, ku daraékna gé barudak ngarora narulis, geus mangpirang-pirang nuhun. Tandaning barudak ngarora téh masih nyaah kana basa indungna; basa Sunda.
***
Ditawisan ngadamel épilog kanggo ieu buku téh 19 Juli 2019. Ari nu nawisanana mah Déri Hudaya. Satutasna naros iraha batas ieu épilog kedah réngsé, ogé dipasihan biografi para pangarang katut sajak-sajakna, kuring nyanggupan bari ngamimitian tatahar.
Sajak nu kakumpul dina ieu buku aya 95 judul. Nu ngeusianana genep urang: (1) Arom Hidayat, 21 sajak, kawit ti Bandung Barat (2) Iwan M. Ridwan, 11 sajak, kawit ti Cianjur (3) Prayoga Adiwisastra, 15 sajak, kawit ti Purwakarta (4) Rizal Sabda, 20 sajak, kawit ti Purwakarta (5) Séna Dipayana Supena, 13 sajak, kawit ti Majaléngka (6) Zaénal Abidin, 15 sajak, kawit ti Kuningan.
Cukup kandel keur ukuran buku antologi sajak mah. Tapi jadi wajar sabab ieu buku dieusianana lain ukur ku saurang. Pangarang nu paling ngora diwakilan ku Séna Dipayana Supena 21 taun. Pangarang nu pangkolotna diwakilan ku Arom Hidayat nu ayeuna nincak 37 taun. Opat pangarang deui aya di kisaran 26-34 taun. Teu paanggang jauh teuing, pas sawindu.
Tina genep urang pangarang nu ngeusian ieu buku, sajak-sajak ti Arom Hidayat nu panglobana dibukukeun téh. Tina 21 sajak nu dibukukeun, urang pedar heula dua sajak nu dijudulan Tuding” jeung “Monolog Ka-1”.
Sajak nu dijudulan “Tuding” lain keur tepikeuneun ka batur hungkul. Sajak nu dimimitian ku: “Lain nuduh ka nu jauh”, dirasa-rasa leuwih nitah ka arurang kénéh sangkan ulah babarian nuduh ti heula ka batur. Dina padalisan kadua leuwih écés deui lamun ieu sajak téh bener-bener keur bahan lenyepaneun urang-urang kénéh: “Da geuning nunjuk ka aing. Arom mungkas ieu sajakna kalayan jéntré.
Geuning bener ceuk paribasa téa mah. Palebah urang nununjuk batur ku hiji ramo, apan opat ramo deui mah malik nununjuk ka urang. Hartina miceun kasalahan ka batur téh lain hal nu bener, sabab bakal malik deui ka diri urang sorangan lamun nu ngamimitian nyieun masalahna téh urang-urang kénéh. Tapi bisa waé kuring salah tapsir. Saha nu apal lamun nu dituju ku Arom téh minangka hiji kritik kana kaayaan individu-individu kiwari anu leuwih kritis jeung taliti kana kasalahan batur nu jauh, ti batan ngeunteung heula ka dirina sorangan; sami sareng judulna, nuding.
Téréh sarua jeung “Tuding”, sajak nu dijudulan “Monolog Ka-1” ogé méré celah keur ngeunteungan kabiasaan urang sorangan. Hiji hal gedé nu dimimitian ku rasa teu sapira: “teu pira ngabukbak leuweung”, dilakonan ku dua insan: “aing jeung manéh” anu keur nyieun jalan caritana sorangan: “keur melak sasiki sajak”, jadi bubuka keur ieu sajak. Minangka panutup, ngalakonan hal nu dianggap teu sapira téh geuning panungtunganana mah malah nyieun arurang aya dina dua pilihan: ”ngaludang atawa ngaruang”. Tapi balik deui, tina sagala hal anu dilakonan, apan tungtungna bakal urang-urang kénéh nu narima hasilna: “urang sorangan”.
Dina hirup tangtu arurang bakal manggihan rupa-rupa pilihan. Arurang dipaksa kudu milih. Tapi ulah ari nepi pilihanana mawa kana cilaka mah. Sakedik deui, masih ngeunaan sajak Monolog Ka-1. Palebah “aing jeung manéh”, salian tina analisa kuring nu mimiti, geuning analisa kadua mah ceuk kuring kénéh bisa ogé keur ngawakilan dua sipat nu patukang-tonggong dina hiji diri. Kecap “manéh” bisa jadi ngawakilan hawa napsu dina diri urang sorangan. Napsu anu mamaksa urang ngagugu kahayang manéhna.
Sajak-sajakna Imam M. Ridwan, dina ieu buku téh lobana mah ngan satengahna ti sajak-sajakna Arom. Dina sajakna nu dijudulan “Bulan Langit Bandung”, Imam nyieun narasi ngeunaan kaayaan Bandung, anu kiwari marakbak ku lampu néon. Bandung anu kiwari tinggurilap ku lampu-lampu mérkuri sapanjang jalan. Bandung anu kiwari diliwatan ku mobil nu silih datang jeung mulang tinggarerung. Bandung anu kiwari gumuruhna patémbal-témbal parat nepi janari. Sajak ieu ceuk kuring mangrupa kritik keur kaayaan Bandung dina mangsa kiwari, utamina palebah dina bubukana: “Rék ka mana bulan nguniang?” jeung “Sorot anjeun geus teu napak dina suklak-siklukna dayeuh” ieu nyirikeun lamun caang bulan geus jadi barang langka di Bandung.
Salian ti méré kritik kana pola hirup masarakatna, Imam ogé nyuat-nyuat ngeunaan hiji Pabrik Coklat di sisi dayeuh anu ilubiung méré kontribusi sangkan bulan beuki teu némbongan di Bandung: “’Pék sing betah dina panyumputan! // Tah keur anjeun: méga hideung sangkan anjeun tumaninah!’” // Omong pabrik coklat di sisi dayeuh bari ngelunkeun haseup hideung.” Masalah ngeunaan polusi di arurang, kiwari beuki parah waé. Sababaraha minggu ieu, tina data Air Visual, Indonésia nu diwakilan ku Jakarta apan jadi nagara anu kualitas hawana paling teu layak sadunya. Ceuk kuring mah ieu téh lain masalah leutik. Perkara ieu kudu jadi bahan pikiraneun keur pamaréntah di arurang. Pamaréntah kudu leuwih taliti deui palebah nyieun aturan ogé kudu leuwih rutin deui mariksa kaayaan di lapangan, naha bener pabrik-pabrik nu ngaradeg téh geus barener miceun limbahna? Lian ti éta, pamaréntah ogé teu bisa sagawayah ngidinan pabrik-pabrik ngadegkeun pabrikna di mana waé. Kudu jelas tata kotana.
Sajak “Bulan Langit Bandung” dipungkas ku carita yén bulan anu nurut kana pancén ti Gusti Nu Murbéng Alam téh angger nyaangan. Najan kiwari geus teu pati dipaliré bakat kapoékan ku caangna lampu ti dayeuh. Bulan nu imutna teu weléh marahmay, angger nyaangan ka imah-imah bilik. Nyaangan kana saung-saung gunung. Nyaangan kana pajaratan handapeun tangkal-tangkal samoja.
Lajeng ka sajak ti Prayoga Adiwisastra nu dijudulan “Ínstagram”. Ngeunaan sosial média dina mangsa kiwari mah atuh lain barang anyar keur arurang. Tina survéi nu dijieun ti dua lembaga Cuponation jeung NapoleonCat apan dijéntrékeun lamun Indonésia téh jadi nagara ka-opat anu akun instagramna panglobana sadunya. Jadi geus lain barang langka nempo masarakat di arurang aktip jeung konsumtip ka nu ngaranna sosial média.
Minangka bubuka, Prayoga nyieun prolog lamun paguneman keur sawatara jalma nu nyandu kana instagram téh saukur ilusi. Sabab hasil tina éta kabiasaan nu dilakonan téh bisa meuraykeun jarak jeung waktu. Kiwari sok aya paribasa lamun sosial média: nyieun deukeut ka nu jauh, nyieun jauh ka nu deukeut. Éta paribasa téh bisa bener, bisa henteu. Lamun maranéhna bisa ngéléhkeun rasa panasaranana mah, éta paribasa bisa jadi salah.
Sajak “Instagram” bisa dipaké ogé keur nyintreuk individu-individu anu kasieunan dirina teu dipiapal, ogé kasieunan teu dipikaresep ku loba jalma. Nyokot tina mitologi Yunani, apan geus dicontoan ku Narkissos putra Kefissos lamun jelema nu ngagul-ngagul kana kaunggulan parasna sorangan, tungtungna mah bakal teuleum lantaran paripolahna sorangan. Bakat kagégéloan ka dirina sorangan, ieu sajak dipungkas ku jalan carita: tokoh dina éta sajak ngomong ka potrétna sorangan. Geus puguh potrét manéhna téh hasil ilusi optik nu diapungkeun ku manéhna sorangan, dina instagram manéhna sorangan.
Dina sajak “Aksara” beunang Rizal Sabda kuring dék nempo tina judulna heula. Aksara atawa istilah ilmiahna mah foném, apan saur Fatimah Djajasudarma mah, “kesatuan bunyi bahasa terkecil yang membedakan arti, atau dengan kata lain fonem adalah bunyi bahasa fungsional.” (Djajasudarma, 1987:1). Saparantos ditilikan eusi sajakna, alurna dimimitian ku hal leutik. Apan nu ngaranna diajar mah salah sahiji prosés pangmimitina dina hirup. Kitu ogé nu dicaritakeun dina ieu sajak nalika tokoh kuring ménta diajar ka apa: “ajarkeun, apa,” jeung ka ema: “ajarkeun, ema,”.
Dina dua bagian awal, tokoh kuring dina ieu sajak diajar ngeunaan bebeneran, ogé ngeunaan hak jeung batil. (1) Diajar ngeunaan bebeneran tujuanana: “sangkan bisa méré pangharepan keur kaadilan nu maruragan”. (2) Diajar ngeunaan hak jeung batil tujuanana: “sangkan bisa ngabeuntakeun panon-panon nu curaling mawa ringkang sangsara urang”. Dina dua bagian ieu, ceuk sakuringeun mah minangka bekel sikap keur tokoh kuring dina nyanghareupan kahirupan. Urang kudu apal ka nu ngaranna bebeneran, ulah nepi urang cicing dina kaayaan anu salah. Urang kudu apal mana nu hak mana nu batil, sangkan urang teu kababawa ku saha waé anu curaling nyieun sangsara batur. Palebah mungkas ieu sajak, kuring rada nilikan deui isi sajakna. Kuring nempo rasa pasrah tina tokoh kuring dina bagian pamungkas ieu sajak. Pangajaran ngeunaan bebeneran, ogé hak jeung batil geuning teu cukup keur nyanghareupan kahirupan. Tokoh kuring nyieun jungjunanna jadi simbol. Simbol diajar ngeunaan kahirupan. Kahirupan nu ku tokoh kuring dirasa beurat pisan.
Sajak Séna Dipayana Supena nu dijudulan “Sajadah”, najan pondok, tapi teu ngirangan kana tujuan utamana. Ieu sajak ngajak arurang sangkan pasrah jeung sumerah diri ka Gusti Allah. Dimimitian ku “Ieu raga simpé” ngawakilan kaayaan anu simpé. Dilajeng ku “Nangkeup hiliwir angin ti kulon” minangka Gusti Allah méré jawaban kana pasrah jeung sumerahna arurang. Dipungkas ku “Jampé moal jempé” nyirikeun lamun manusa téh nyaéta mahluk nu butuh ka Pangéranna, mahluk nu moal eureun ménta pituduh ogé pitulung ti Pangéranna.
Palebah latar, dina sajak “Sajadah” téh teu kacaritakeun, kumargi sajakna pondok. Kuring rada nilik-nilik deui palebah “Nangkeup hiliwir angin ti kulon”. Atuh lamun latarna lain keur di luar rohangan mah, kacipta sieunna palebah dina kaayaan simpé, jol aya angin nu ngahiliwir ka hareupeun urang pisan. Tapi bisa waé angin nu dimaksud dina ieu sajak téh lain angin.
Zaénal Abidin dina sajak nu dijudulan “Lambuhan Bulan” nepi sapuluh kali nulis kecap “wening” di jero sajakna. Ieu nyirikeun lamun keur meunangkeun kaweningan téh arurang perelu usaha nu teu babari. Arurang tangtu kudu daék ngeunteung kana rupaning hakéki, arurang kudu ngaweningkeun diri tina hirup nu pinuh ku kakiruh.
Latar waktu nu kabayang ku kuring mah teu béda jauh jeung sajakna Séna nu dijudulan “Sajadah”. Dina sajak “Lambuhan Bulan”, kaciri lamun waktu nu kagambar dina éta sajak téh wanci janari: “sawening wanci janari”. Wanci janari nu kudu dipaké ku arurang asup ka rohang nu pangsimpéna. Wanci janari anu kudu bisa dipaké ngaweningkeun diri tina rupa-rupa pasualan anu silung katungtung jeung liuhna ngalarung. Wening, weningkeun sawening wanci janari.
***
Sajeroning sapuluh taun ieu, buku basa Sunda dina katégori sajak jadi unggulan dina gelaran taunan Hadiah Sastra Rancagé. Hadiah kasusastraan daérah nusantara nu ditaratas ku Ajip Rosidi ieu, ti taun 2009-2019 nangtoskeun genep buku sajak anu jadi pinunjul ti gelaran nu kiwari dikokolakeunana ku Yayasan Kebudayaan Rancagé. Genep buku nu dimaksud nyaéta: (1) Serat Panineungan karya Étti RS (2) Paguneman karya Acép Zamzam Noor (3) Lagu Padungdung karya Déni A. Fajar (4) Titimangsa karya Abdullah Mustappa (5) Miang karya Nazarudin Azhar, jeung nu panganyarna (6) Sérah karya Éris Risnandar.
Ieu jadi sapuluh taun pangproduktipna keur katégori sajak. Sabab dina périodeu 1989-1998 pinunjul tina katégori sajak diwakilan ngan ku dua buku nyaéta Blues Kéré Lauk karya Godi Suwarna jeung Maung Bayangan karya Étti RS. Sapuluh taun salajengna 1999-2008 pinunjul tina katégori sajak, sami diwakilan ngan ku dua buku nyaéta Kidang Kawisaya karya Chyé Rétty Isnéndés jeung Jaladri Tingtrim karya Dyah Padmini. Hartina dina sapuluh taun ieu, rata-rata pinunjul dina kategori sajak anu asalna ngan diwakilan ku dua buku, kiwari naék tilu kalieunana jadi genep buku.
Di yuswana nu geus nincak satengah abad, kiwari sajak beuki dipikaresep, kiwari sajak beuki alus hasilna. Mugia népa ka para pangarang anyar nu acan kasinugrahan.

Bandung, 01 Agustus 2019

Mapag: Kumpulan Sajak Obor Tatar Pasundan


MAPAG: Kumpulan Sajak Obor Tatar Pasundan

Pangaping: Ahmad Soléh
Pupuhu Garapan: Muhammad Bachrul Ulum

Pangeusi: Adé Saépul Gani, Aditia Rahman, Agung Cahya, Agung Ghifari, Ahmad Soléh, Alfébyan, Ali Abdulloh, Ali Fitriadi, Ari Sahrul, Asép Tating, Cucun Kartiwa, Déna Abdul Aziz, Dikdik Fauzi, Élfan Guntur, Fajar Sidik Jaélani, Farhan Ziddan, Gema Syarif H, Héri Suhérman, Husni Thamrin, Ilham Muhamad Zaini, Imanudin Abdurohman, Kholid Abidin, M. Fatul Farhani, M. Krésna Gumelar, M. Yusar Ramadhani, Moch. Rizky Setiadi, Nazar Ramdhan M, Réksa Nandara, Réza Hakim Lukman, Réza Priandani, Rifki Nurul FS, Rinalji, Rizki Sanjaya, Rizky Ahmad Fahrézy, Robby Gunawan, Yanyan Supriatna, Yoga Maulana Sidik

Éditor: Séna Dipayana Supena
Désain Sampul: Rifki Nurul FS
Rarancang Jilid: Imanudin Abdurohman
Ilustrator: Moch. Rizky Setiadi

Pamedal: Pamass Unpad
Lantai 1, Puseur Kagiatan Mahasiswa, FIB Unpad.
Citakan kahiji, Nopémber 2017.
ISBN: 978-602-74059-0-5

Unduh gratis: