23 February 2013

Awal Mula Tumbuhnya Bahasa: Pengertian, Asal-usul, dan Fungsi Bahasa


AWAL MULA TUMBUHNYA BAHASA

I.                   BAHASA
Di dalam masyarakat, kata bahasa sering dipergunakan dalam pelbagai konteks dengan pelbagai macam makna. Lantas apa itu bahasa?
Bahasa adalah sarana ekspresi diri bagi manusia. Bahasa sebagai objek komunikasi perannya sangat besar dalam kehidupan, dari bahasa pula kita dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahasa adalah, kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh dari sebuah sistem komunikasi yang kompleks.
 “Karena bahasa selalu hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalam alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. Ia hadir karena karunia Tuhan Sang Penguasa alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan diri pada manusia bukan melalui Zat-Nya, tapi lewat bahasa-Nya, yaitu bahasa alam dan kitab suci.” (Hidayat, 2006:21)
Menurut Harimurti, batasan bahasa berfungsi sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian ‘bahasa’ ke dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer, pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun, tingkah laku yang baik.
Dua ilmuwan Barat, Bloch dan Trager, mendefinisikan bahasa sebagai suatu “sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi (Language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates).
Senada dengan Bloch dan Trager, Joseph Bram mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain (a language is a structured system of arbitrary vocal symbols by means of which members of a social group interact).
Ronald Wardhaugh, memberikan definisi “bahasa ialah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system of arbitrary vocal symbols used for human communication).
Dari definisi-definisi yang telah diungkapkan didapatkan kata kunci yang mengandung pengertian umum, yaitu kata “simbol”. Artinya bahwa bahasa pada dasarnya merupakan sistem simbol yang ada dalam alam ini. Seluruh fenomena simbolis yang ada di alam semesta ini pada dasarnya adalah bahasa.

II.                ASAL USUL BAHASA
Berjuta tahun yang lalu, arkeolog menemukan kerangka hominoid, mahluk yang merupakan awal mula manusia, di pelbagai tempat. Setelah temuan tersebut, terdapat pula petunjuk peradaban hidup hominoid berupa kebudayaan yang masih primitif. Bersamaan dengan hal itu, bahasa sebagai prasyarat bagi pewarisan tradisional dan pertumbuhan kebudayaan diperkirakan muncul. Awal mula pertumbuhan bahasa ini disebut prabahasa.
Evolusi prabahasa menjadi bahasa yang telah diperkirakan oleh para ahli tidak memiliki bukti tertulis—atau bukti tersebut belum ditemukan. Oleh karena itu, berbagai teori mengenai timbulnya bahasa pun muncul dan berkembang.
Salah satu teori yang muncul adalah Teori Tekanan Sosial. Teori ini dikembangkan oleh Adam Smith dalam bukunya the Theory of Moral Sentiment  yang beranggapan bahwa bahasa manusia timbul karena manusia primitif berkebutuhan untuk saling memahami. Akibat kebutuhan tersebut, manusia dituntut untuk melakukan hubungan sosial dengan sesamanya sehingga terciptalah suatu tuturan. Dalam teori ini, manusia tergambar sudah mencapai kesempurnaan fisik dan mental.
Teori Onomatopetik atau Ekoik adalah salah satu dari teori mengenai asal-usul bahasa yang muncul. Teori yang dikemukakan oleh  J.G. Herder ini menjelaskan bahwa penamaan suatu objek ditentukan berdasarkan bunyi objek tersebut. Adapun objek yang dimaksud, misalnya, adalah binatang atau peristiwa-peristiwa alam. Banyak para ahli yang menentang teori ini karena dianggap tidak logis jika manusia hanya meniru bunyi dari makhluk-makhluk yang lebih rendah. Teori ini dijuluki pula teori bow-bow oleh penentangnya.
Sejumlah filsuf, seperti Etienne Bonnet Condillac dan Whitney turut menyumbangkan teorinya tentang asal-usul bahasa yang disebut Teori Interyeksi. Mereka beranggapan bahwa bahasa lahir dari ujaran-ujaran instinktif, yaitu bersumber pada dalam diri seorang manusia yang berhubungan erat dengan perasaan. Teori ini dijiluki dengan nama teori pooh-pooh. Ujaran instinktif atau interyeksi yang terlahir tidak berarti lebih dari sekadar luapan emosi sehingga tidak dapat dikontrol oleh pengujarnya. Namun, dalam perkembangannya, interyeksi tersebut dapat berkembang menjadi bahasa bila penggunaannya tidak lagi menandai luapan emosi, tetapi menandai sebuah pernyataan emosi.
Teori selanjutnya diajukan oleh Max Muller, yaitu Teori Natifistik atau Tipe Fonetik. Teori ini berdasarkan pada konsep mengenai akar. Max berasumsi bahwa terdapat hukum bahasa yang menyatakan bahwa tiap barang memiliki bunyi yang khas seperti halnya manusia yang memiliki kemampuan ekspresi artikulatoris sehingga dapat merespon secara vokal. Teori ini dikenal juga sebagai teori ding-dong.
Adapun teori lain yang muncul adalah Teori Yo-He-Yo. Teori ini dikembangkan oleh filsuf Noire yang beranggapan bahwa manusia melakukan pekerjaan-pekerjaan khusus secara bersama-sama. Saat saling memberi semangat kepada sesamanya, mereka akan mengucapkan bunyi-bunyi yang khas berhubungan dengan pekerjaan khusus itu. Oleh karena itu, teori ini disebut sebagai teori Yo-he-yo.
Wilhelm Wundt, seorang psikolog di abad XIX dalam bukunya yang berjudul Volkespsychologie juga membicarakan mengenai kemunculan bahasa. Dalam Teori Isyarat (The Gesture Theory) yang dibuatnya, bahwa bahasa isyarat timbul dari emosi dan gerakan-gerakan ekspresif yang tak disadari. Komunikasi gagasan-gagasan dilakukan dengan gerakan-gerakan tangan yang membantu gerakan-gerakan mimetik wajah seseorang, yaitu gerakan ekspresif untuk menyatakan emosi dan perasaan. Selain gerakan mimetik dan gerakan pantomimetik (pengungkapan ide) yang sudah ada, kemampuan untuk mendengar juga memungkinkan manusia untuk menciptakan jenis gerakan yang ketiga, yaitu gerakan artikulatoris. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan artikulatoris menjadi lebih penting dibanding kedua gerakan lainnya.
Setelah menguaraikan tiga  bidang penelitian mengenai bahasa anak-anak, bahasa suku-suku primitif, dan sejarah bahasa-bahasa, Jespersen, seorang filolog Denmark, menyimpulkan bahwa bahasa primitif menyerupai bahasa anak-anak. Hal ini terangkum dalam teori yang dikembangkannya, yaitu Teori Permainan Vokal. Pada awalnya, bahasa manusia berupa dengungan seperti nyanyian yang tidak bermakna yang kemudian berkembang menjadi sebuah wujud ungkapan yang semakin jelas dan teratur. Jespersen beranggapan bahwa bahasa manusia mula-mula bersifat puitis. Oleh karena itu, dalam teori ini terlihat bahwa pernyataan ideasional dan emosional dapat diungkapkan secara beriringan.
Dalam bukunya Human Speech, Sir Richard Speech mengemukakan teori mengenai asal usul bahasa yang disebut dengan Teori Isyarat Oral. Berikut adalah beberapa argumennya: “Pada mulanya manusia menyatakan gagasannya dengan isyarat tangan, tetapi tanpa sadar isyarat tangan itu diikuti juga oleh gerakan lidah, bibir, dan rahang. Ketika manusia melakukan isyarat dengan lidah, bibir, dan rahang maka udara yang dihembuskan melalui mulut (oral) atau lubang hidung akan mengeluarkan pula isyarat-isyarat yang dapat didengar sebagai ujaran berbisik. Paget selanjutnya memperlihatkan kesamaan antara bunyi-bunyi ‘sintetik’ dan beberapa kata dari bahasa primitif. Dalam hal ini, Paget dianggap sebagai orang yang meneruskan ide Wundt, yaitu Teori Isyarat.
Menurut Laguna, Teori Paget ini memiliki dua  kelemahan. Kelemahan pertama adalah adanya asumsi bahwa bahasa ujaran berkembang sebagai fenomena individual yang tergantung pada ide-ide yang memerlukan pengungkapan, sedangkan bahasa adalah upaya untuk mengkomunikasikan ide-ide itu. Kelemahan kedua adalah adanya asumsi bahwa awal mula ujaran baru muncul sesudah adanya ras manusia, karena ras manusia memiliki  proses mental tertentu yang diperlukan untuk berkomunikasi.
Teori yang juga berkembang adalah Teori Kontrol Sosial yang diajukan oleh Grace Andrus de Laguna. Menurutnya, ujaran adalah suatu medium yang besar yang memungkinkan manusia bekerja sama. Bahasa merupakan upaya yang mengkoordinasi dan menghubungkan macam-macam kegiatan manusia untuk tujuan bersama. Laguna membandingkan pemakaian bunyi-bunyi vokal manusia primitif dengan bunyi yang digunakan anak dewasa. Dalam hal ini, ia sependapat dengan Jespersen. Ia menyatakan bahwa permainan vokal adalah unsur yang penting pada waktu timbulnya bahasa. Oleh karena itu, dalam usahanya menelusuri evolusi ujaran dari teriakan binatang ke penggunaannya sebagai ujaran, Laguna melihat lebih jauh ke belakang bila dibandingkan Jespersen. Namun, Laguna menganggap bahwa ujaran didasarkan pada aktivitas kehidupan yang sungguh-sungguh bukan sekedar permainan yang menyenangkan dan kesenangan remaja.
G. Revesz turut menyumbangkan pengetahuannya mengenai kemunculan bahasa yang tercakup dalam teorinya, yaitu Teori Kontak. Dalam teori ini, Revesz menjelaskan bahwa munculnya sebuah bahasa didorong oleh adanya keinginan atau kebutuhan mahluk hidup untuk mengadakan kontak emosional kepada sesamanya. Kontak emosional ini merupakan kelanjutan dari kontak spasial yang sudah diwujudkan sebelumnya. Dengan adanya hubungan personal dan kontak emosional yang baik, terciptalah bahasa yang tentu saja mampu menjembatani kedua hal tersebut.
Adapun aspek yang cukup esensial lainnya menurut Revesz terkait dengan asal-usul bahasa adalah adanya keinginan untuk bertukar pikiran. Artinya, dalam hal ini yang hendak dicapai adalah terjalinnya kontak intelektual.
Berangkat dari adanya kebutuhan mahluk hidup untuk berkontak emosional, dapat ditandai bahwa bunyi-bunyi ekspresiflah yang mengawali terbentuknya bahasa. Evolusi bahasa yang dikemukakan Revesz dimulai dari tangisan yang tidak diarahkan pada individu tertentu, panggilan yang sudah dilakukan dengan tujuan, kemudian barulah terbentuk sebuah kata.
Teori selanjutnya mengenai asal-usul bahasa dikemukakan oleh Charles F. Hockett dan Robert Ascher yang dikenal dengan Teori Hockett-Ascher. Teori ini memaparkan asal-usul bahasa dan perkembangannya yang berkaitan erat dengan evolusi manusia. Disebutkan bahwa proto hominoid, primata yang diketahui sebagai asal-usul manusia dan hidup pada jutaan tahun silam, memiliki sistem panggilan untuk berkontak. Sistem panggilan belum dapat disebut bahasa. Para ahli menyebut system panggilan sebagai prabahasa.
Adapun yang membedakan sistem panggilan dari bahasa adalah bahwa sistem panggilan tidak memiliki ciri pemindahan yang dapat memungkinkan kita untuk membicarakan hal yang tidak ada dan yang teradi di masa lampau. Selain itu, masing-masing panggilan memiliki sifat eksklusif. Maksudnya, proto hominoid tidak dapat mengeluarkan satu panggilan. Misalnya, proto hominoid berada dalam suatu keadaan bahasa dan menemukan makanan di suatu tempat, maka panggilan yang dapat dikeluarkannya hanya salah satu saja, misalnya yang menunjukkan bahwa dirinya dalam keadaan bahaya saja. Keeksklusifan tersebut menunjukkan bahwa panggilan bersifat tertutup. Hal ini tentu bertentangan dengan bahasa yang bersifat terbuka atau produktif.
Pada perkembangan selanjutnya, sistem panggilan yang semula bersifat tertutup pun kemudian berkembang menjadi terbuka. Berkembangnya panggilan menjadi sistem yang terbuka ditandai dengan penggabungan dua panggilan. Walaupun demikian, panggilan tetap disebut sebagai prabahasa karena masih bersifat eksklusif pada kelompok tertentu.
Perubahan tubuh yang terjadi kemudian pada proto hominoid  memungkinkan mahluk tersebut menciptakan semakin banyak panggilan. Namun, hal ini berakibat semakin padatnya tempat akustik-artikulatoris sehingga bunyi-bunyi yang tercipta bermiripan. Akibatnya, terjadi sebuah perubahan besar: pramorfem yang semula berwujud panggilan menjadi morfem sesungguhnya, yaitu bunyi-bunyi yang tercipta kemudian diwakili oleh suatu komponen morfologis dan fonologis.
Berbagai teori yang telah disebutkan di atas mengisyaratkan hal yang sama, yaitu sebelum terciptanya bahasa, ujaran-ujaran yang dikeluarkan hominoid bersifat tertutup dan tidak produktif. Ujaran-ujaran tersebut belum dapat dikatakan sebagai bahasa seutuhnya. Sebagian ahli menyebutnya sebagai  bahasa  primitif dan sebagian lagi menyebutnya prabahasa, tergantung pada teori masing-masing.
Berdasarkan teori di atas, Teori Hockett-Ascher lah yang dengan lengkap menjelaskan kemunculan bahasa. Prabahasa yang berkembang menjadi bahasa haruslah terjadi beriringan dengan evolusi proto hominoid menjadi manusia. Hal tersebut karena kesempurnaan bahasa yang ditandai dengan bunyi-bunyian yang dikeluarkan alat ucap manusia tentu baru akan terwujud dengan didukung dengan kesempurnaan organ-organ artikulator manusia.

III.             FUNGSI BAHASA
Salah satu aspek penting dari bahasa ialah aspek fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa.
Kata komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti ‘sama’. Maksudnya adalah sama makna. Jika dua orang terlibat komunikasi, dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna.
Sedangkan jika dilihat dari perspektif kebahasaan, istilah komunikasi mencakup makna mengerti dan berbicara, mendengar dan merespons suatu tindakan.
Menurut P.W.J. Nababan, seorang linguis Indonesia, membagi fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat dan pendidikan menjadi empat fungsi, yaitu: 1) fungsi kebudayaan, 2) fungsi kemasyarakatan, 3) fungsi perorangan, dan 4) fungsi pendidikan.
Maka dapat disimpulkan bahwa dengan bahasa itulah manusia berkata, bercakap-cakap, melakukan interaksi dan komunikasi, mengungkapkan isi pikirannya, mengungkapkan segala gejolak yang ada dalam perasaannya, dan berargumentasi. Karena itulah, manusia sampai kapan pun tidak akan bisa melepaskan diri dari adanya bahasa sebagai suatu yang mesti ada.
Perlu diingat, bahwa bahasa juga tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia, karena bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan manusia. Sekelompok manusia atau bangsa dalam kurun waktu tertentu tidak akan bisa bertahan jika dalam bangsa tersebut tidak ada bahasa.

IV.             AWAL MULA TUMBUHNYA BAHASA
Perkembangan teori linguistik dari jaman Yunani Kuno sampai sekarang tidak lepas dari adanya kontroversi. Kontroversi yang pertama sudah ada sejak abad keenam sebelum Masehi. Dua kubu yang saling berhadapan saat itu ialah kubu phusis dan kubu thesis. Kubu phusis percaya bahwa dalam bahasa itu ada keterkaitan antara kata dan alam. Keterkaitan antara kata dan alam itu, menurut kubu phusis, bersifat alami dan memang sangat diperlukan. Sebaliknya kubu thesis percaya bahwa hubungan antara kata dan alam sifatnya arbitrar dan konvensional.
Dalam mempertahankan pendiriannya, kubu phusis mengemukakan beberapa alasan. Pertama, adanya gejala onomatopoeia, yang berarti ‘gema suara alam.’ Maksud kaum phusis ialah bahwa gema suara alam itu dipakai manusia untuk menamakan konsep-konsep kebendaan yang ada di sekelilingnya. Pandangan terhadap gema suara alam itu berkembang lagi ke arah asosiasi antara warna, lagu, dengan perasaan. Perkembangan onomatopoeia yang mengasosiasikan warna dan lagu dengan perasaan itu sangat bermanfaat dalam sistem pengaturan cahaya, warna kostum lagu-lagu pengiring dalam pementasan seni, drama, dan tari.
Di lain pihak, dalam mempertahankan pendiriannya, kubu thesis mengutarakan bukti-bukti bahwa nama yang diberikan oleh manusia kepada benda-benda di sekitarnya tidak menurut kaidah tertentu, misalnya, menurut kaidah asosiasi antara nama benda dengan suara alam. Nama-nama yang diberikan itu hanyalah konvensi antara sesame anggota masyarakat pembicara dari suatu bahasa.
Kontroversi yang kedua terjadi sekitar abad ke-4 sebelum Masehi antara penganut faham Analogi dan penganut faham Anomali. Dalam bidang linguistik, kaum Analogi percaya bahwa bahasa itu tertata menurut aturan yang pasti. Keteraturan bahasa, menurut aliran Analogi, terdapat pada semua aspek: aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Di pihak lain, dalam bidang linguistik, para pengikut Anomali menyatakan bahwa sungguh sangat keterlaluan orang yang percaya bahwa bahasa itu tertata menurut susunan yang teratur.
Kontroversi ketiga timbul pada jaman Renaissance, antara para penganut empirisme dan para penganut rasionalisme. Kaum empiris percaya bahwa jiwa manusia itu mempunyai kemampuan, tetapi kita tidak tahu banyak tentang kemampuan itu. Dalam masalah bahasa, kaum empiris percaya bahwa bahasa itu dipelajari dari lingkungan sekitar. Jadi bahasa itu pada hakekatnya, menurut mereka, dipelajari.
Di pihak lain, kaum rasionalis dalam masalah bahasa menyangkal bahwa bahasa itu didapat dari lingkungan. Sebaliknya, mereka percaya bahwa bahasa itu sudah ada dalam jiwa manusia sebagai pembawaan.  Karena pada hakekatnya manusia itu mempunyai bawaan yang universal sifatnya.
Menurut kaum strukturalis, yang hadir dalam abad ke-20, konsep apapun dapat dihayati sebagai bangunan. Menurut konsep ini, bahasa dibangun dari kalimat-kalimat; kalimat dibangun dari klausa-klausa; selanjutnya, klausa dibangun dari frasa-frasa; frasa dibangun dari kata-kata; kata dibangun dari morfem-morfem; dan akhirnya, morfem dibangun dari fonem.

V.                KESIMPULAN
Masih banyak perdebatan tentang masalah “Awal Mula Tumbuhnya Bahasa”. Jika pun ada yang berpendapat, maka itu hanya bersifat dugaan saja.  Banyak para ahli dengan kepercayaan dan filosofi dirinya sendiri mengeluarkan berbagai macam pendapat. Ada yang mempercayai bahwa dalam bahasa itu ada “keterkaitan antara kata dan alam”. Tak sedikit pula yang membantahnya dengan pendapatnya bahwa “hubungan antara kata dan alam sifatnya arbitrar dan konvensional.”.
Kontroversi tentang masalah ini terus berlanjut hingga abad ke-20 bahkan hingga sekarang pun tetap demikian. Ada yang berujar bahwa “bahasa itu tertata menurut aturan yang pasti. Dan keteraturan bahasa, terdapat pada semua aspek: aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.”. dan lagi-lagi hal ini pun disanggah oleh pihak lain.
 Bahkan dari sumber yang berkembang pada abad ke-20 mengatakan bahwa “bahasa dibangun dari kalimat-kalimat; kalimat dibangun dari klausa-klausa; selanjutnya, klausa dibangun dari frasa-frasa; frasa dibangun dari kata-kata; kata dibangun dari morfem-morfem; dan akhirnya, morfem dibangun dari fonem.”.
Banyak sekali sumber yang dapat dijadikan referensi dalam hal ini. Tetapi saya dapat menyimpulkan dari hasil gabungan semua sumber tersebut bahwasanya bahasa adalah: “simbol yang dihasilkan lewat proses arbitrer (mana suka), yang berlanjut pada konvensi (disetujui masyarakat), dan terikat secara sistematis (aturan atau pola), yang berbentuk vokal (lisan), dan bersifat manusiawi (hanya manusia yang punya bahasa). Meskipun lagi-lagi ada yang menyatakan bahwa bukan manusia saja yang memiliki bahasa, tetapi hewan dan alam pun memiliki bahasanya masing-masing. Dan ada pula yang menyanggahnya kembali bahwa hewan dan alam tidak memiliki bahasa melainkan itu hanyalah sebuah interaksi. Charless Osgood dalam sebuah bukunya berujar “…..berbeda dengan manusia yang melibatkan proses berpikir dan kesadaran, bentuk bahasa binatang semata-mata bersifat fisis.”
Wallahu A’lam Bis-Shawab

Sanjaya. Rizki. Awal Mula Tumbuhnya Bahasa. Melalui http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/02/awal-mula-tumbuhnya-bahasa.html. Diakses Hari, 00 Bulan 0000.

DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Winda. Asal Usul Bahasa. Melalui http://kampusmaya.org/2012/02/23/asal-usul-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.

Bahasa. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa. diakses Rabu, 28 November 2012

Faqihuddin, Didin. BAHASA: PERTUMBUHAN DAN ASAL-USULNYA. Melalui dienfaqieh.wordpress.com/.../bahasa-pertumbuhan-dan-asal-usulnya/. Diakses Rabu, 20 Februari 2013.

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat BAHASA. Bandung: ROSDA.

Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Rawit, Intan. Teori Asal Mula Bahasa. Melalui http://intan.blog.ugm.ac.id/2012/10/19/teori-asal-mula-bahasa/. diakses Rabu, 20 Februari 2013.

Wahab, Abdul. 1991. ISU LINGUISTIK Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.

Bandung, Jumat, 22 Februari 2013
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad

Sisindiran: Rarakitan, Paparikan, Wawangsalan



I.                   SISINDIRAN
Sisindiran berasal dari kata sindir, artinya berkata secara tidak langsung atau tidak terus terang. Sisindiran adalah bentuk puisi semacam pantun di dalam sastra Melayu. Sisindiran tumbuh dan berkembang pada masyarakat bahasa Sunda umumnya. Sisindiran berasal dari kata sindir ‘sindir, menyindir’, artinya berkata secara tidak langsung atau tidak terus-terang. Sisindiran ialah suatu bentuk puisi sastra tradisional Sunda yang mempunyai sampiran dan isi. Sisindiran ini merupakan karya sastra Sunda asli yang sudah ada sejak dulu, jauh sebelum islam dating (Haji Hasan Mustapa, 1913).
Sisindiran ini lahir sebelum tahun 1600 M. bersama cerita pantun, dongeng, jangjawokan ‘mantra’. (Yus Rusyana, 1969: 11). Sisindiran adalah bentuk puisi tradisional Sunda yang sebentuk dengan pantun dalam sastra Melayu; umumnya terdiri atas empat larik, tapi bisa kurang atau lebih, hanya selalu berlarik genap, karena terbagi menjadi dua bagian yang sama jumlah lariknya. Bagian pertama disebut cangkang (kulit=sampiran) dan bagian kedua disebut eusi (isi).
Sisindiran dibagi atas tiga jenis, yaitu wawangsalan, rarakitan, paparikan. Di dalam tiga jenis tersebut jika dilihat dari sifatna ‘keperluannya/tujuan’, memiliki pula tiga keperluan/tujuan pula yakni: silih asih ‘kasih sayang’, piwuruk ‘pepatah’, sésébréd ‘humor’.
Menurut Salmun dalam Kandaga Kesusastraan Sunda (1963: 55)
Kecap sisindiran ari asalna mah tina kecap sindir, anu maksudna sisi. Ngomong ku sindir maksudna ngomong anu nyisi, henteu poksang ceplak Pahang, pikeun ngaragangan anu dibawa nyarita, supaya omongan urang karasana henteu nyentug atawa ngagasruk kana haténa.
Sanajan sindir jeung sisindiran téa ceuk hartining kecap mah béda-béda hartina jeung larapna, tapi ari pokona mah tetep sarua, nya éta ngedalkeun maksud henteu saceplakna, tapi dibulen ku kecap-kecap séjén anu ngandung karasmén, dipalar pikaresepeun. Lamun diibaratkeun kana bubuahan téa mah, aya cangkang jeung eusina. Bisana kaarah eusina teh kudu bisa mesék cangkangna.

‘Kata sisindiran berasal dari kata sindir, yang artinya sisi. Berbicara dengan menggunakan sindir artinya berbicara tidak langsung apa adanya, hal ini dimaksudkan untuk menghormati yang diajak berbicara, agar ucapan kita tidak menyinggung perasaan pendengar.
Meskipun sindir dan sisindiran berbeda arti dan penggunaannya, tetapi pada dasarnya tetap sama, yaitu menyampaikan maksud atau tuturan secara tidak langsung apa adanya, tetapi disampaikan dengan ungkapan yang lebih baik, agar enak didengar. Jika diibaratkan dengan buah, ada cangkang dan isi. Untuk mendapatkan isinya, harus dapat mengupas cangkangnya.

Lebih lanjut Salmun (1963: 57) menjelaskan:
Tegesna: sisindiran téh diréka atawa dianggitna mah bisa jadi mangrupa wawangsalan, bisa jadi mangrupa rarakitan, bisa jadi mangrupa paparikan. Ari sifatna, anu mana-mana ogé bisa jadi silih asih, bisa jadi piwuruk, bisa jadi sésébréd.
‘Lebih jelas: sisindiran dapat dibentuk berupa wawangsalan, berupa rarakitan, dan berupa paparikan. Keperluannya/ tujuannya, masing-masing dapat digunakan untuk silih asih berkasih sayang, piwuruk pepatah, dan sésébréd humor.

Menurut Wibisana (2000: 431), istilah sisindiran sudah ada sejak abad ke-16. Naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian memberi informasi tentang hal itu, akan tetapi diawali dengan kata kawih, jadi kawih sisindiran. Ini mungkin nama lagu, bukan nama bentuk sastra.
Lebih lanjut Wibisana (2000: 431) menjelaskan, sisindiran dalam sastra Sunda sama dengan pantun dalam sastra Melayu atau Indonesia. Seperti halnya pantun, sisindiran pun terdiri atas dua bagian, yakni cangkang ‘sampiran’ dan eusi ‘isi’. Juga mengenai jumlah lariknya, walau umumnya empat larik, tak sedikit pula yang lebih dari itu dalam jumlah yang genap.
Menurut Ekadjati (2000: 598), sisindiran adalah bentuk  puisi tradisionil Sunda yang sebentuk dengan pantun dalam sastra Melayu; umumnya terdiri atas empat larik, tapi bisa kurang atau lebih, hanya selalu berlarik genap, karena terbagi menjadi dua bagian yang sama jumlah lariknya. Bagian pertama disebut cangkang (kulit=sampiran) dan bagian kedua disebut eusi (isi).
Lebih lanjut Ekadjati (2000: 598) menjelaskan: Karena sisindiran itu seperti juga bentuk sastra yang lain menjadi milik bersama, maka tak perlu mengucapkan cangkang dan eusi sebuah sisindiran, karena yang diajak bicara akan mafhum.
Dan menurut Gunardi dalam Inferensi Dan Referensi Wawangsalan Bahasa Sunda (2011: 19)
“Sisindiran adalah salah satu hasil rekayasa bahasa Sunda di dalam karya sastra Sunda, yang di dalam bentuknya terdapat cangkang (sampiran) dan eusi (isi), untuk menyampaikan maksud secara tidak langsung, agar tidak menyinggung perasaan pendengar (yang diajak bicara). Sisindiran dibagi atas, paparikan, rarakitan, dan wawangsalan.


II.               MACAM-MACAM SISINDIRAN

1.      Rarakitan
Rarakitan adalah salah satu bentuk sisindiran yang dibentuk oleh cangkang (sampiran) dan eusi (isi). Hubungan antara cangkang dan isi harus satu suara serta sama purwakanti dalam setiap akhirannya.
Rarakitan merupakan sisindiran yang terdiri dari sampiran dan isi dengan jumlah yang sama banyak dalam sebaitnya. Kata rarakitan sendiri mengandung arti seperti rakit atau berpasangan (sarakit = sepasang). Disebut rarakitan karena kata pada awal baris bagian sampiran diulangi atau dipergunakan lagi pada awal baris bagian isi

Rarakitan di dalam sisindiran adalah kawih ‘lagu’ yang sampiran dan isinya memiliki kesamaan pada awal lariknya.
Contoh Rarakitan:
·         Silih asih

Mihapé sisir jeung minyak,
Kadé kaanloman leungeun,
Mihapé pikir jeung niat,
Kadé kaangsonan dengeun.

Daék sotéh ka Cikonéng,
Ka Cisitu mah teu purun.
Daék sotéh ka Nyi Onéng,
Ka nu itu mah teu purun.

Sapanjang jalan Soréang,
Moal weléh diaspalan.
Sapanjang tacan kasorang,
Moal weléh diakalan.

Hayang teuing buah hiris,
Teu bisa ngasakanana.
Hayang teuing ka nu geulis,
Teu bisa ngakalanana.


·         Piwuruk

Lamun dayang dahar noga,
Kudu daék nya meulina.
Lamun haying asup sorga,
Kudu getol nya sholatna.

Lamun urang ka Cikolé,
Moal hésé tumpak kahar.
Lamun urang boga gawé,
Moal hésé barang dahar.

Sing getol nginum jajamu,
Nu guna nguatkeun urat,
Sing getol néangan élmu,
Nu guna dunya ahérat.

Ti batan mawa pedang,
Mending gé mawa ragaji.
Ti batan ulin bagadang,
Mending gé diajar ngaji.


·         Sésébréd

Aya budak mawa casan,
Ngan hanjakal teu dibeli.
Aya budak gelis pisan,
Ngan hanjakal tara mandi.

Majar manéh cengkéh konéng,
Kulit peuteuy dina nyiru.
Majar manéh lengkéh konéng,
Kulit beuteung mani nambru.

Rarasaan ngala mayang,
Teu nyaho cangkeuteuk leuweung.
Rarasaan konéng umyang,
Teu nyaho cakeutreuk hideung.

Aya listrik di masigit,
Hanjakal moncor ka kolong.
Aya istri jangkung alit,
Hanjakal tonggongna bolong.


2.      Paparikan
Paparikan adalah salah satu jenis dari puisi Sunda yang disebut sisindiran yaitu suatu puisi yang dibangun oleh cangkang yang tidak mengandung arti, yang diikuti oleh isi yaitu arti sesungguhnya. Hubungan antara "cangkang" dan arti sesungguhnya ditunjukkan dengan hubungan struktural suara dan pola. Jika pola suara dari cangkang dan isi sejajar maka sisindiran ini disebut paparikan.
Paparikan, berasal dari kata parik yang bentuk dasarnya adalah parék ‘dekat’. Jadi, paparikan atau paparékan ‘dekat-dekat’, yaitu suara atau vokalisasi dari sampiran dan isinya mirip. Paparikan disini adalah sisindiran yang hanya berdekatan bunyinya antara sampiran dengan isinya, jadi tidak harus sama kata awal barisnya seperti pada rarakitan.

Contoh Paparikan:
·         Silih asih

Leuleupeutan leuleumeungan,
ngarah kékéjoanana.
Deudeukeutan reureujeungan,
ngarah téténjoanana.

Meuncit meri dina rakit,
Boboko wadah bakatul.
Lain nyeri ku panyakit,
Kabogoh direbut batur.

Cau ambon dikorangan,
Kanyéré ka pipir-pipir.
Lalaki ambon sorangan,
Awéwé teu mikir-mikir.

Samping hideung dina bilik,
Kumaha nuhurkeunana.
Abdi mineung ka nu balik,
Kumaha nuturkeunana.


·         Piwuruk

Hayang pisan geura dahar,
Ngan taya réncang sanguna.
Hayang pisan jadi beunghar,
Ngan kudu getol usahana.

Ka kulah nyiar kapiting,
Ngocok-ngocok bobodasna.
Ulah sok liar ti peuting,
Osok loba gogodana.

Aya manuk dina pager,
Na sukuna aya bola.
Lamun urang hayang pinter,
Kudu getol ka sakola.

Baju kutud heureut pola,
Dikelin teu dijalujur.
Lamun téh cucud sakola,
Arisin balik ka lembur.


·         Sésébréd

Cau naon cau naon,
Cau kulutuk di juru.
Bau naon bau naon,
Bau hitut nu di juru.

Itu gunung ieu gunung,
Diadukeun pakbeledug.
Itu pundung ieu pundung,
Marebutkeun mojang budug.


Poé Saptu poé Kemis,
Poé Kemis jeung Jumaah.
Itu saha muril kumis,
Kumisna panjang sabeulah.

Daun hiris dibeungkeutan,
Dibawa ka juru leuit.
Anu geulis ngadeukeutan,
Hayangeun dibéré duit.


3.      Wawangsalan
Salah satu aspek bahasa dan sastra Sunda yang juga melibatkan bahasa Sunda sebagai media adalah wawangsalan. Wawangsalan dalam bahasa Sunda merupakan susunan kata dalam bentuk teka-teki yang sama dengan wangsalan di dalam Kesusastraan Cirebon. Wawangsalan di dalam khasanah sastra Sunda termasuk di dalam salah satu dari bentuk sisindiran.
Wawangsalan berbeda dari bentuk rarakitan dan paparikan. Wawangsalan (yang berbentuk teka-teki) pada umumnya terdiri dari dua larik. Larik pertama sebagai sampiran (teka-teki), dan larik kedua merupakan rujukan terhadap teka-teki larik pertama. Pada sebagian wawangsalan yang sudah sering digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Sunda, larik kedua sekaligus juga merupakan arti dari larik pertama. Hanya dengan mengucapkan wawangsalan larik pertama saja, penutur bahasa Sunda dapat memahami isinya (membentuk idiom).
Di dalam wawangsalan, selain menebak teka-teki yang disampaikan di larik pertama. Jawaban larik pertama tersebut akan memunculkan bermacam-macam jenis kata. Dapat berupa jenis nomina, verba, adjektiva, adverbial dsb. Rujukan jawaban teka-teki pertama tersebut, dapat mengungkapkan makna referensial wawangsalan larik pertama. Melalui kajian larik pertama wawangsalan dapat dianalisis kandungan makna idiomatik yang ada di dalam wawangsalan.
Contoh Wawangsalan:
-méga beureum surupna geus burit, ngalanglayung panas pipikiran. (layung)
-cikur jangkung jahé konéng, naha teu palay tepung. (panglay)
-sim abdi mah ngabeunying leutik, ari ras cimataan. (amis mata)
-gedong tengah laut, ulah kapalang nyabéla. (kapal)
-paripaos gunting pameulahan gambir, kacipta salamina. (kacip)



DAFTAR PUSTAKA

Gunardi, Gugun. 2011. Inferensi Dan Referensi Wawangsalan Bahasa Sunda. Jatinangor: Sastra Unpad Press.

Paparikan. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Paparikan. diakses Selasa, 19 Februari 2013.

Rahayu, Budi, dkk. 1994. Pangajaran Sastra Sunda. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Rarakitan. Melalui http://su.wikipedia.org/wiki/Rarakitan. diakses Selasa, 19 Februari 2013.

Sisindiran Daerah Sunda. Melalui http://aliminiaincirebon.blogspot.com/2012/11/sisindiran-daerah-sunda.html. diakses Selasa, 19 Februari 2013.

http://rizkimasbox.blogspot.com/2013/02/sisindiran-rarakitan-paparikan.html

Sunarta Kartim. Sisindiran Pantung Sunda Sarat Nasehat. Melalui http://kartimsunarta.wordpress.com/2011/04/14/sisindiran-pantung-sunda-sarat-nasehat/. diakses Selasa, 19 Februari 2013.

Tim Peneliti Fakulatas Sastra 1995. Antologi Puisi Sunda. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Wawangsalan. Melalui http://su.wikipedia.org/wiki/Wawangsalan. diakses Selasa, 19 Februari 2013.



Jatinangor, Rabu, 20 Februari 2013
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad